Selasa, 18 Agustus 2009

Mengasah Kecerdasan Emosional Sejak Dini


Dewasa ini diketahui bahwa EQ (kecerdasan emosional) lebih besar peranannya di banding IQ (kecerdasan akademik) dalam menentukan kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang kecerdasan emosionalnya berkembang baik lebih mudah mencapai kebahagiaan dan berhasil dalam kehidupannya. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan emosional ini? Ada dua bagian yang terkandung dalam istilah kecerdasan emosional. Yang pertama adalah keterampilan untuk mengetahui dan menangani perasaan diri sendiri dengan baik, dan yang kedua adalah kemampuan untuk membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif. Sebagai suatu bentuk kecakapan, kecerdasan emosional berbeda dengan kecerdasan akademik yang sifatnya statis. Bila IQ atau kecerdasan akademik cenderung tidak berubah sepanjang kehidupan seseorang, kecerdasan emosional justru dapat diasah dan dikembangkan semaksimal mungkin. Di bawah ini, penulis memberikan ulasan mengenai bagaimana orangtua dapat melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak (supaya anak memiliki kecakapan untuk memahami dan mengelola perasaannya sendiri). 

Meningkatkan kemampuan anak untuk memahami dan mengelola perasaannya sendiri

Masa kanak-kanak adalah saat yang tepat untuk mulai mengajarkan cara mengelola perasaan. Pada masa ini, anak-anak sudah mengalami berbagai macam perasaan, akan tetapi, kemampuan mereka untuk memahami perasaannya masih terbatas. Perasaan yang mereka alami juga cenderung kuat dan sering meledak-ledak. Anak-anak membutuhkan bimbingan dari orang yang lebih dewasa untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka rasakan dan bagaimana menyalurkan energi emosional mereka yang berlebihan itu dengan tepat. Beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua untuk membimbing mereka menangani perasaannya dengan efektif antara lain sebagai berikut :

Membacakan perasaan anak dan membantu menjelaskan sebab timbulnya perasaan tersebut
Ketika orangtua melihat bahwa anak sedang duduk memandangi bonekanya yang sobek bajunya akibat ditarik paksa oleh temannya, orangtua bisa mendekati anak, menepuk bahunya dengan lembut dan berkata, “Kamu sangat kesal karena Anne tadi memakaikan baju boneka itu dengan kasar hingga sobek.”

Mengizinkan anak melakukan aktivitas yang tepat untuk menyalurkan perasaannya
Cukup banyak anak yang bisa mengambil inisiatif untuk melakukan aktivitas tertentu guna menyalurkan emosinya yang sedang meledak-ledak, misalnya menggambar di tanah dengan ranting pohon ketika sedang sedih, membanting-banting bola karet di kamar ketika sedang marah. Apabila aktivitas tersebut dirasa tidak mengganggu orang-orang sekitar, orangtua sebaiknya membiarkan anak melakukannya. Akan tetapi, jika aktivitas itu dirasa mengganggu, maka orangtua bisa menyatakan keberatannya terhadap perilaku tersebut dan memberi tahu alternatif cara lain untuk mengekspresikan emosi. Misalnya orangtua yang tidak suka jika anaknya membanting pintu ketika marah, bisa berkata, “Mama tahu kamu marah, tapi kalau kamu menendang-nendang pintu, kamu bisa membuat pintu kamarmu cepat rusak. Kamu bisa keluar dan memantul-mantulkan bola di tembok halaman belakang.”
Apabila anak tampak lebih suka memendam perasaan daripada menyalurkannya dengan aktivitas, orangtua bisa memberi saran untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang bisa memperingan beban perasaannya. Ajak anak untuk melakukan aktivitas yang disukainya agar ia merasa lebih baik.
Menangis merupakan cara yang baik untuk menyalurkan perasaan sedih, oleh karena itu, bila anak memang terlihat ingin menangis, orangtua bisa mendukungnya untuk bebas menangis, misalnya pada situasi ia bisa sendirian di kamar. Orangtua perlu memberi tahu anak bahwa menangis bukan merupakan perilaku yang kebayi-bayian, menangis bisa menjadi sesuatu yang baik bila dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Pandangan bahwa anak laki-laki tidak pantas menangis, harus disingkirkan. Anak laki-laki yang dididik untuk tidak boleh menangis akan menjadi kurang cakap dalam menangani emosi-emosi yang negatif, mereka akan tumbuh menjadi orang yang suka mengubur perasaannya dan membiarkan diri sendiri menderita dengan berpura-pura menutupi perasaannya.

Mengajarkan asertivitas
Ajari anak untuk terbiasa berterus terang mengungkapkan ketidaksetujuannya atas perilaku orang lain yang menjadi sumber timbulnya perasaan negatif pada dirinya. Misalnya, ketika anak marah karena ulah temannya yang iseng menendangi kursinya, orangtua bisa mengajari anak untuk menyampaikan kepada temannya tersebut bagaimana perasaannya, “Lain kali kalau temanmu seperti itu lagi, katakan terus terang kepada temanmu bahwa kamu marah kalau dia menendangi kursimu karena membuat kamu tidak bisa mewarnai dengan baik.”
Asertivitas ini sebenarnya lebih efektif dipelajari anak jika orangtua juga terbiasa menunjukkan sikap asertif terhadap anak. Ketika orangtua ingin mengarahkan perilaku anak, sangat baik bila orangtua tidak sekedar memerintahkan anak untuk menghentikan perilaku buruknya, tapi juga mengungkapkan bagaimana perasaannya akibat perilaku anak yang buruk tersebut. Misalnya ketika orangtua ingin supaya anaknya tidak lari-lari di mal, orangtua bisa berkata, “Papa takut kalau kamu lari-lari kamu menabrak barang-barang yang bisa pecah. Yuk, gandengan sama papa saja, jalannya.”
Berbicara asertif adalah salah satu cara untuk melepaskan ketegangan akibat emosi yang terlalu kuat. Dengan mengungkapkan kepada orang lain perasaan kita akibat perilaku orang lain tersebut, kita akan bisa menjadi lebih lega. Selain itu, bicara secara asertif, sebenarnya juga lebih efektif untuk membuat orang lain mengubah perilakunya. Ketika kita mengungkapkan perasaan kita, orang tersebut mendapat umpan balik atas perilakunya, sehingga ia yang tadinya mungkin tidak sadar bahwa perilakunya membuat kita merasa tidak nyaman, menjadi sadar, dan mungkin lebih bersedia untuk mengubah perilakunya. Mengajari anak berbicara asertif akan menghindarkan anak dari tindakan mengekspresikan emosi secara agresif.

Mendukung anak untuk menceritakan perasaan dan masalah-masalahnya
Bercerita kepada orang lain merupakan cara efektif untuk melepaskan emosi. Orangtua bisa menciptakan atmosfer keluarga yang membuat anak merasa nyaman bercerita mengungkapkan pengalaman dan perasaan-perasaannya. Tunjukkan perhatian ketika anak berinisiatif untuk bercerita. Anak yang merasa bahwa orangtuanya mendengarkannya dengan sungguh-sungguh akan lebih berminat untuk melanjutkan ceritanya. Seandainya anak mulai bercerita ketika orangtua sedang sibuk, lebih baik orangtua menyarankan anak untuk bercerita sesudah kesibukannya selesai, daripada mendengarkan anak dengan setengah-setengah. Orangtua bisa berkata, “Andrew, sebentar ya, mama menyelesaikan cuci piring dulu, nanti baru kamu cerita, supaya mama bisa mendengarkan ceritamu dengan baik.” Tentu saja jangan sampai orangtua lupa akan janjinya untuk mendengarkan anak sesudah kesibukannya selesai. Merupakan hal yang sangat baik bila keluarga mempunyai waktu khusus yang memberi kesempatan kepada anggota keluarga untuk saling berbagi cerita. Saat makan malam, atau sesudah makan malam biasanya bisa menjadi saat yang tepat untuk saling berbagi cerita. Pada waktu khusus seperti ini, orangtua bisa mendorong anak bercerita dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan seputar kegiatan hari itu, misalnya apakah ia senang waktu bermain di rumah temannya, bagaimana pelajaran komputernya di sekolah, dan sebagainya.
Ketika mendengarkan cerita anak, penting bagi orangtua untuk menunjukkan empati. Tersenyumlah dengan antusias ketika anak bercerita tentang sesuatu yang membuatnya gembira. Terimalah perasan-perasaan anak, termasuk perasaan-perasaan negatif yang sedang dialaminya. Tunjukkan bahwa Anda bisa memahami kecemasannya, ketakutannya, kejengkelannya. Jangan memberikan respon berupa kata-kata yang meremehkan perasaan anak, bahkan di saat orangtua dalam hati berpendapat bahwa pikiran yang mendasari perasaan anak itu tidak rasional. Sebagai contoh, ketika anak mengatakan bahwa ia khawatir orangtua teman akan membunuhnya gara-gara ia merusakkan mobil-mobilan temannya, orangtua jangan langsung menertawakan kekhawatiran anak atau memberikan respon yang menganggap remeh perasaan anak, melainkan tetap menunjukkan perhatian terhadap perasaan khawatir anak sambil berusaha memberikan pengertian yang benar kepada anak atau meyakinkannya bahwa orangtua temannya tersebut tidak akan membunuhnya.


Meningkatkan kemampuan anak untuk memahami perasaan orang lain dan bereaksi terhadap perasaan orang lain secara tepat

Langkah paling awal sekaligus paling utama yang harus ditempuh orangtua untuk mendidik anak menjadi orang yang mampu memperhatikan perasaan orang lain adalah memberikan kasih sayang dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak. Anak tidak akan tahu bagaimana caranya mempedulikan perasaan orang lain jika ia sendiri tidak pernah mengalami bagaimana rasanya diperhatikan perasaannya oleh orang lain. Dengan mengalami kasih sayang, diperhatikan perasaannya dan kebutuhannya oleh orangtua, anak belajar untuk memperhatikan kebutuhan dan perasaan orang lain. Selain itu, pengalaman dibesarkan dalam suasana penuh kasih sayang dan kelembutan juga menjadikan anak lebih sensitif terhadap perasaan orang lain. Oleh karena itu, menunjukkan kasih sayang lewat usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi orangtua jika ingin anak menjadi orang yang mampu mengasihi dan berempati terhadap orang lain.

Setelah memastikan bahwa anak merasa dicintai dan diperhatikan kebutuhannya, orangtua bisa melanjutkan langkah-langkah berikut untuk mendorong anak semakin mampu memahami perasaan orang lain dan menunjukkan reaksi tepat terhadap perasaan orang lain.


Menyatakan perasaan dalam memberikan umpan balik atas perilaku anak
Buat anak mengerti bahwa tindakan yang dilakukannya membuat Anda merasa senang, bahagia, atau sebaliknya, membuat Anda merasa khawatir, marah, sedih, kecewa. Daripada sekedar memarahi anak, melarang atau memerintah anak, ungkapkan perasaan Anda kepadanya ketika Anda ingin mengarahkan perilakunya. Misalnya saja dengan berkata, “Mama sangat takut kalau kamu bermain kejar-kejaran di jalan yang ramai. Mama khawatir kamu tertabrak mobil atau sepeda motor yang lewat.” Hal ini akan membuat anak lebih cepat menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya membawa pengaruh pada orang lain, di samping juga membuat anak semakin mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.


Membicarakan tentang bagaimana perasaan orang-orang lain
Ambil kesempatan yang ada untuk membicarakan bagaimana perasaan orang-orang. Sebagai contoh, ketika melihat berita di televisi yang menayangkan anak-anak korban gempa bumi, Anda bisa berkata kepada anak, “Kasihan anak itu, ya. Anak itu sedih dan bingung karena ibunya terluka akibat kejatuhan reruntuhan rumahnya.” Saat anak melakukan perilaku yang buruk terhadap orang lain, Anda juga bisa mengajaknya memikirkan bagaimana perasaan orang lain akibat tindakannya tersebut. Dengan cara ini, Anda akan mengajari anak untuk selalu mempertimbangkan efek tindakannya terhadap orang lain sebelum bertindak, selain juga meningkatkan kepekaannya terhadap perasaan orang lain.


Sumber Inspirasi :

Goleman, D., 2004.
Kecerdasan Emosional (Alih bahasa : T. Hermaya). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Hurlock, E.B.,
Perkembangan Anak, jilid 1 (Alih bahasa : dr. Med Meitasari Tjandrasa dan Dra. Muslichah Zarkasih). Jakarta : Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kesediaan Anda memberikan komentar. Komentar yang Anda berikan akan sangat bermanfaat bagi saya dalam mengembangkan tulisan-tulisan saya.