Kamis, 25 Februari 2010

SUKA BICARA KOTOR


Bila suatu ketika anak mengucapkan kata kotor, lalu segera berhenti sesudah dilarang orangtua, ini tak jadi masalah, sebab memang wajar seorang anak ingin mencoba mempraktikkan penggunaan kosakata yang baru saja didengarnya. Akan tetapi, bagaimana jika bicara kotor menjadi kebiasaan anak? Hal ini tentu sangat menjengkelkan orangtua, apalagi jika didengar oleh orang lain, orangtua pun tercoreng mukanya. Lantas, langkah apa yang sebaiknya ditempuh orangtua bila larangan dan peringatan yang sudah berkali-kali diberikan tak juga digubris oleh sang anak? Berikut akan dibahas mengapa anak suka berbicara kotor, dan apa yang bisa dilakukan orangtua untuk mengatasinya.

Faktor Penyebab


Keinginan mendapat perhatian

Begitu anak melontarkan kata kotor, anak segera mendapat perhatian dari orangtua maupun orang dewasa lainnya, sekalipun perhatian itu berbentuk teguran atau amarah.

Ada kesenangan yang diperoleh dari mengejutkan orang lain

Ada perasaan senang yang dialami anak saat berhasil mengejutkan orang lain. Ketika anak bisa membuat orang dewasa shock, seketika ia merasa bisa mengungguli orang dewasa tersebut.

Keinginan melepaskan emosi marah dan kecewa

Anak mungkin menggunakan kata-kata kotor itu untuk mengekspresikan perasaan marah, kesal, atau kecewa pada orang lain.

Keinginan memberontak

Anak mempunyai suatu perasaan bermusuhan terhadap orang dewasa. Selama ini ia mungkin merasa terlalu ditekan, dibatasi, atau mungkin juga merasa diperlakukan dengan kasar, akibatnya ia jadi berkeinginan untuk memberontak dan agresif melawan orang dewasa.

Pandangan salah bahwa kata kotor adalah bagian dari kedewasaan

Anak berpikir bahwa kata kotor adalah kata yang wajar digunakan oleh orang-orang dewasa. Karena ingin merasa dewasa, anak pun menggunakan kata kotor.

Keinginan diterima teman sebaya

Anak yang sudah mulai menginjak usia remaja berjuang untuk mendapat penerimaan dari kelompok teman-teman sebayanya. Beberapa anak mengira bahwa dengan bicara kotor, ia akan dipandang gaul, berani, atau macho oleh teman-temannya.

Mencontoh kebiasaan orang sekitar

Jika orang-orang sekitar yang ditemui anak sehari-hari adalah orang yang tak dapat mengendalikan diri saat marah sehingga suka memaki-maki dengan kata kotor, anak tidak belajar mengembangkan pengendalian diri yang baik, akhirnya anak pun menjadi pribadi yang sulit mengendalikan diri untuk tidak berkata kotor saat marah.

Langkah untuk Mengatasi


Mengajarkan ekspresi emosi yang lebih tepat

Bila anak mengeluarkan kata-kata kotor tiap kali ia marah, ajarkan cara mengekspresikan emosi yang lebih baik, misalnya dengan berbicara asertif, yaitu menyampaikan kepada orang lain tentang ketidaksetujuan kita terhadap perilakunya yang membuat kita merasa tidak nyaman. Anak yang masih kecil biasanya kesulitan untuk merumuskan bagaimana perasaannya, padahal mengenali perasaan beserta penyebab timbulnya perasaan merupakan langkah untuk bisa mengelola emosi secara baik. Oleh karena itu, ketika melihat anak sedang diluapi perasaan marah atau frustrasi, orangtua bisa membantu membacakan perasaannya dan menjelaskan sebab timbulnya perasaan tersebut. Misalnya saja saat anak marah karena diejek teman, orangtua bisa berkata, “Alvin, kamu jengkel sekali ya, karena si Robert mengejek caramu menyanyi di depan kelas. Kamu bisa bilang padanya bahwa kamu jengkel ditertawakan terus, dan minta supaya ia tidak lagi mengungkit hal itu.”

Mengabaikan

Bila tujuan anak adalah mendapatkan perhatian orangtua, atau mendapatkan kesenangan dari membuat orang terkejut, cara mengabaikan ini saja mungkin sudah ampuh menghentikan kebiasaan anak bicara kotor. Mengabaikan dilakukan dengan pura-pura tidak mendengar anak atau tidak menunjukkan ekspresi terkejut saat mendengar kata-kata kotor anak. Jadi, saat anak mengeluarkan kata-kata kotor, orangtua tidak perlu memelototi anak, berteriak, atau memukul anak, melainkan cukup mengalihkan pandangan ke arah lain atau kembali menggeluti aktivitas/kesibukan yang sedang dikerjakan.

Berpura-pura bodoh

Cara ini memang sepintas kelihatan aneh, tapi kadang justru jadi cara yang ampuh. Saat anak mengeluarkan kata-kata kotor, orangtua bertanya dengan lagak bodoh, “Eh, kata apa yang kamu bilang tadi? Apa artinya itu? Mama nggak ngerti. Coba kasih tahu mama.” Dengan bersandiwara pura-pura tidak mengenal kata yang digunakan anak, anak justru jadi merasa bingung, sehingga di lain waktu, ia akan menjadi malas menggunakan kata-kata itu.

Menyatakan ketidaksetujuan

Nyatakan bahwa Anda tidak senang bila mendengar kata-kata itu keluar dari mulut anak. Beri tahu anak bahwa kata-kata yang buruk bisa mencerminkan bahwa orang yang mengatakannya adalah orang yang tidak sopan, atau tidak tahu aturan, sehingga jika ia menggunakannya, orang lain bisa mengira dia anak yang tidak sopan. Bisa juga mengatakan kepada anak, “Teman-temanmu mungkin pakai kata-kata itu, tapi kita tidak,” atau “Mama tidak pernah marahi kamu pakai kata-kata itu, jadi mama juga tidak mau kalau kamu pakai kata-kata itu untuk marah.”

Menggunakan metode hukuman

Begitu mendengar anak melontarkan kata kotor, hukum anak dengan time out. Katakan kepada anak bahwa karena telah mengucapkan kata yang seharusnya tidak diucapkan, ia harus meninggalkan aktivitas yang sedang dilakukannya, pergi ke suatu tempat dan menyendiri di situ selama waktu yang ditentukan (10 menit, misalnya). Biarkan selama waktu itu anak terisolasi atau tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun juga. Apabila anak tidak mau pergi secara sukarela ke tempat yang Anda tentukan, Anda bisa mengangkatnya atau menuntunnya ke sana. Hukuman fisik seperti menampar, mencuci mulut anak dengan sabun, atau memaksa anak memakan sambal, sebaiknya tidak dipilih orangtua, sebab hukuman fisik justru berpotensi meningkatkan rasa permusuhan dalam diri anak.

Menggunakan metode pemberian hadiah

Jika anak sudah lama terbiasa berbicara kotor, sukar baginya untuk langsung berhenti total menggunakan kata-kata kotor tersebut. Dalam keadaan ini, lebih baik orangtua mengadakan perjanjian dengan anak, yaitu bahwa jika dalam waktu yang ditentukan anak tidak berbicara kotor, anak mendapat poin, poin yang terkumpul kemudian ditukar dengan hadiah bila jumlahnya mencapai target. Sebagai contoh, jika dalam sehari anak tidak berbicara kotor, anak mendapat satu tanda centang yang ditulis dalam tabel, di akhir minggu, jika jumlah tanda centang yang diperoleh anak mencapai 5, anak mendapat coklat kesukaannya. Hadiah bisa juga berupa aktivitas yang disukai anak, misalnya bepergian ke tempat wisata, atau bisa juga berupa izin melakukan suatu hal yang diinginkan anak, misalnya orangtua memberikan izin untuk bergadang di akhir pekan menonton film sampai pukul 23.00 malam.

Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.
Baca lebih lanjut...

Minggu, 21 Februari 2010

Mendidik Anak Menjadi Pribadi yang Jujur


Kejujuran adalah salah satu nilai moral yang pada umumnya ingin orangtua tanamkan pada diri anak. Jujur mengacu pada arti penuh kebenaran, dapat dipercaya dalam segala hal, bertindak dengan adil, dan tulus. Kejujuran tidak hanya membawa kebaikan untuk orang lain, melainkan juga untuk diri sendiri. Dengan menjadi jujur, kita merasa damai, tenteram, dan bahagia. Dalam usaha mendidik anak supaya menjadi pribadi yang jujur, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua. Berikut ini akan dibahas apa saja yang bisa dilakukan orangtua untuk membimbing anak menjadi pribadi yang jujur.

Mengajarkan pentingnya kejujuran
Katakan berulang kali kepada anak bahwa jujur membuat kita merasa damai dan tenteram, sebaliknya, bohong membuat kita merasa khawatir dan gelisah. Ajarkan bahwa bohong membuat diri kita menjadi orang yang tidak dipercaya. Semua orang ingin diperlakukan jujur, diberi tahu sesuai fakta, oleh karena itu, jika kita membohongi orang berarti kita tidak menghargai dan mencintai orang yang kita bohongi itu.

Tidak mengajarkan tentang prinsip ‘bohong demi kebaikan’
Apabila orangtua mengatakan bahwa ada kebohongan yang ditujukan untuk kebaikan, anak akan menangkap bahwa bohong bukan sesuatu yang mutlak salah, dan ia akan berpikir bahwa bohong boleh-boleh saja dilakukan dalam situasi tertentu. Beri tahu anak bahwa tidak ada satupun orang yang lebih senang dibohongi, oleh karenanya, dalam keadaan apapun juga, bohong tetap salah. Lebih baik berkata, “Aku tidak ingin mengatakannya,” atau “Aku tidak ingin menjawab,” daripada mengatakan sebuah kebohongan.

Memberikan model/contoh kejujuran
Orangtua harus memberikan teladan bagaimana mempraktikkan kejujuran, sebab anak tidak akan menghormati pengajaran orangtua tentang kejujuran jika ia melihat bahwa orangtuanya sehari-hari bukanlah seorang pribadi yang jujur. Kadang orangtua tidak menyadari bahwa kesalahan-kesalahan sepele yang dilakukan membuat anak memandang bahwa orangtua tidak jujur. Misalnya saja ketika orangtua diam-diam menyelinap keluar rumah dan meninggalkan anak tanpa pemberitahuan, ketika orangtua tidak menepati janji untuk jalan-jalan di akhir pekan, atau ketika orangtua menyuruh anak memberitahu seorang tamu tak dikehendaki bahwa orangtua sedang pergi meski sebenarnya orangtua di rumah. Untuk menjadi model yang jujur, sebaiknya orangtua tidak berbohong kepada anak, tidak mengingkari janji dengan anak yang telah dibuat, mau mengakui kesalahan, dan juga tidak berbohong kepada orang lain.

Menunjukkan penerimaan dan kasih sayang tanpa syarat
Ketika tuntutan orangtua tidak berlebihan, dan anak merasa diterima, disayangi apa adanya, anak akan menjadi pribadi yang nyaman dengan dirinya sendiri, yang berpikir bahwa tidak perlu menjadi orang lain untuk menyenangkan orangtuanya. Penerimaan yang tulus dari orangtua juga membuat anak tidak terlalu takut saat menemui fakta bahwa dirinya gagal atau melakukan suatu kesalahan, sehingga pengakuan jujur bukanlah hal yang sulit dilakukan. Menunjukkan penerimaan terhadap anak tidak berarti bahwa orangtua setuju terhadap segala perilaku anak. Saat anak melakukan kesalahan, orangtua boleh-boleh saja menegur bahkan menghukum. Anak yang terbiasa diperlakukan dengan kasih sayang pasti bisa mengetahui bahwa amarah, teguran, atau hukuman dari orangtua itu tidak cukup menjadi bukti bahwa orangtua tidak lagi menyayangi dirinya.

Memberikan penghargaan atas kejujuran anak
Anak akan merasa senang jika orangtua memperhatikan usahanya untuk berlaku jujur. Tunjukkan penghargaan saat anak mengembalikan uang sisa beli gula, saat anak memanggil orang yang uangnya terjatuh di jalan, saat anak berusaha mengerjakan prakarya sendiri meski mengetahui teman-temannya dibantu oleh orangtua mereka, juga ketika anak tidak menyontek hingga nilai ulangannya jelek. Seringkali orangtua mengabaikan kejujuran anaknya yang memilih mendapat nilai jelek daripada menyontek. Begitu melihat nilai anak yang jelek, orangtua langsung marah. Ketika anak mengakui kesalahannya dengan jujur, sebelum marah atau menghukum anak, tunjukkan dulu bahwa Anda menghargai kejujurannya, misalnya dengan berkata, “Mama sedih dan kecewa kamu memecahkan boneka keramik kesayangan mama, tapi mama senang kamu berani mengakui kesalahanmu. Mama bangga punya anak jujur seperti kamu.”

Tidak memberikan aturan berlebihan
Saat orangtua terlalu membatasi anak, sebagian anak memilih untuk menipu orangtuanya demi mencuri kebebasan. Oleh karena itu, sebaiknya orangtua hanya membuat larangan untuk hal-hal yang penting saja.

Menghindari kebiasaan menyalahkan, dan memberi hukuman berlebihan
Apabila orangtua terbiasa mengkritik, menyalahkan, atau memberi hukuman berlebihan, anak akan menjadi terlalu takut saat melakukan suatu kesalahan. Akibatnya, ia akan berusaha menutup-nutupi kesalahannya agar terhindar dari hukuman atau olok-olok orangtua. Ketika anak melakukan kesalahan, lebih baik orangtua mengajak anak bangkit dari kesalahan dan mencari solusi atas masalah yang dibuatnya. Menyadarkan anak akan kesalahannya memang perlu, namun tidak perlu dilakukan dengan cara terus-menerus menyalahkan anak. Saat anak bersalah, jelaskan tindakannya yang mana yang salah, mengapa tindakan itu salah, dan apa yang orang lain inginkan. Dalam mengarahkan perilaku anak, sebaiknya orangtua lebih banyak menggunakan metode pujian daripada hukuman, artinya orangtua berfokus pada usaha untuk memuji, memberikan perhatian saat anak menunjukkan perilaku yang baik, daripada berfokus untuk menegur saat anak berperilaku buruk.

Di atas semuanya, orangtua perlu menunjukkan kepercayaan kepada anak. Dipercaya orangtua merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang anak, dan karenanya, ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjaga kepercayaan tersebut.


Sumber inspirasi :

Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.



Baca lebih lanjut...

SALAH PILIH TEMAN


Berteman merupakan salah satu kebutuhan penting pada masa remaja. Keberhasilan menjalin relasi dengan teman sebaya jelas memberikan banyak manfaat bagi perkembangan kepribadian seorang remaja. Akan tetapi, tentu saja orangtua menjadi cemas ketika anaknya dekat dengan teman yang perilakunya tidak baik atau kurang sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang orangtua. Orangtua khawatir anaknya akan meniru tingkah laku yang tidak baik dari teman. Di bawah ini akan dibahas bagaimana orangtua dapat melakukan upaya-upaya untuk menghindarkan hal buruk yang dikhawatirkan tersebut.

Sesungguhnya, karakter telah terbentuk pada usia 12 tahun. Di atas usia itu, karakter sukar untuk berubah secara drastis. Ini berarti, jika sebelum usia itu anak telah mendapat pendidikan moral yang baik, anak cenderung akan mempertahankan nilai-nilai moral yang baik pada masa selanjutnya, atau dengan kata lain, dampak pertemanan yang buruk menjadi kecil kemungkinannya untuk mengubah karakter moralnya. Akan tetapi, bergaul dengan teman yang buruk tentu saja bisa membawa anak pada serentetan masalah. Oleh karenanya, mengambil tindakan segera demi mencegah masalah lebih lanjut adalah sebuah keputusan yang bijaksana ketimbang membiarkan hal tersebut dengan harapan anak akan tumbuh dewasa dengan sendirinya.


Faktor Penyebab

Ketika remaja, sesungguhnya anak sudah mampu menilai baik atau buruk sosok temannya. Akan tetapi, kadang anak memilih untuk tetap bergaul akrab dengan teman yang perilakunya kurang baik. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor berikut :

Keinginan mencari perhatian dan kasih sayang
Perhatian dan kasih sayang yang diterima anak selama ini dirasa kurang cukup, sementara itu, teman atau geng tempat anak bergabung mampu membuat anak merasa diterima, diperhatikan, dan disayangi. Ini menyebabkan anak enggan untuk meninggalkan teman atau gengnya tersebut.

Keinginan untuk mencari kesenangan dan tantangan
Anak mendapat kesenangan tersendiri saat ia melakukan aktivitas yang ‘mengundang masalah’ bersama teman-temannya karena aktivitas itu menantang dan meningkatkan adrenalinnya.

Keinginan untuk memberontak dan menyatakan kemandirian terhadap orangtua
Pada masa remaja, anak menjadi semakin ingin mandiri. Oleh karena itu, tidak jarang anak melakukan hal-hal yang terkesan memberontak terhadap orangtua, semata-mata karena ia ingin menegakkan otonomi dan kemandiriannya.

Keinginan mencari status atau prestise
Bergabung dengan geng membuat anak merasa lebih populer. Anak berpandangan bahwa dengan menjadi anggota geng, ia akan dianggap keren.

Rasa kurang percaya diri pada anak
Anak pada dasarnya memiliki harga diri yang rendah, sehingga ia akan merasa minder jika bergabung dengan teman-teman yang pandai, yang baik, yang mampu bersikap dewasa. Akibatnya, anak lebih memilih dekat dengan teman-teman yang ‘kurang,’ supaya ia merasa lebih nyaman dalam berinteraksi dan juga supaya ia bisa merasa ‘lebih’ dibandingkan teman-temannnya yang ‘kurang’ tersebut.

Kesamaan minat
Teman kebetulan mempunyai hobi atau minat yang sama dengan anak, sehingga dengan berteman dengannya, anak bisa melakukan aktivitas hobinya bersama-sama.


Langkah untuk Mengatasi

Berdiskusi dengan anak
Saat anak telah menginjak usia remaja, hindari untuk mengkritik secara tajam atau memberikan larangan secara otoriter, sebab jika demikian, anak justru akan merasa tertantang untuk tetap bersikukuh memegang pendiriannya. Orangtua lebih baik mengajak anak berdiskusi. Tujuan orangtua dalam diskusi ini adalah untuk membuat anak memikirkan kembali perihal persahabatannya dengan temannya. Orangtua bisa berkata demikian, “Kelihatannya, kamu sering mendapat masalah saat bersama-sama dengan Gery,” atau “Kelihatannya saat kamu bersama Gery, kamu terpaksa menuruti kemauannya,” atau “Saat kamu bersama Gery, sepertinya kamu tidak bisa jadi dirimu sendiri, kamu tidak bisa melakukan apa yang benar-benar kamu inginkan,” atau “Menurut mama, Gery itu hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi tidak mempedulikan keinginanmu.”
Apabila diskusi seperti di atas tidak berhasil juga menyadarkan anak, orangtua bisa lebih berterus-terang menyadarkan anak akan adanya masalah yang disebabkan karena pertemanannya itu kemudian mengajak anak mencari solusinya. Orangtua bisa berkata, “Tiap kali kamu bersama Gery, kamu selalu mendapat masalah. Ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Bagaimana menurutmu sebaiknya?” Tujuan terpenting adalah membuat anak menyadari bahwa dirinya harus segera menjauhi temannya. Jika anak sudah sadar namun ia bingung bagaimana cara memutuskan persahabatannya, orangtua bisa menawarkan solusi, misalnya agar anak hanya bertemu dan mengobrol dengan temannya pada saat-saat tertentu saja, misalnya jam istirahat sekolah, di luar itu, anak bisa memberikan alasan-alasan untuk menghindari pertemuannya dengan temannya.

Mengusahakan pemenuhan kebutuhan anak
Selidiki apa yang membuat anak suka berada dekat temannya tersebut. Kebutuhan apa yang selama ini dirasa anak kurang terpenuhi sehingga ia mencarinya pada sosok teman tersebut. Setelah itu, usahakan untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut. Mungkin anak mencari teman untuk curhat, mencari petualangan atau tantangan, mencari kesenangan, mencari prestise. Orangtua mungkin bisa secara langsung memberikan apa yang dibutuhkan anak, misalnya memberikan perhatian dan kasih sayang, tetapi bisa juga mengarahkan anak pada kegiatan lain yang bisa memenuhi kebutuhannya, misalnya jika anak menyukai tantangan, mengikutsertakan anak pada kegiatan outbound, menyelam, hiking, dan sebagainya.

Membantu anak mengisi waktu luangnya
Sarankan agar anak mengikuti kursus atau melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan minatnya, misalnya bermain gitar, kursus menyetir, bergabung dalam kelompok band, klub bulutangkis, dan lain sebagainya. Kegiatan seperti ini baik untuk memupuk rasa percaya diri anak serta memperluas pergaulan anak, sehingga menghindarkan anak dari ketergantungan pada temannya. Anak perlu mengetahui bahwa banyak hal menyenangkan lainnya yang bisa dilakukan daripada hanya terus-menerus menghabiskan waktu dengan temannya.

Mendekati anak
Pengaruh buruk teman bisa diantisipasi apabila orangtua membangun relasi baik dengan anak. Hal ini disebabkan karena semakin anak mencintai orangtuanya, semakin ia akan berusaha untuk menyenangkan orangtuanya. Luangkan waktu lebih banyak untuk melakukan aktivitas bersama anak. Ajak anak berkomunikasi. Orangtua bisa memulai komunikasi dengan menceritakan kejadian sehari-hari yang dialami, atau membahas hal-hal yang menarik bagi anak. Makan bersama atau acara refreshing keluarga di akhir pekan merupakan momen bagus yang memberikan kesempatan bagi orangtua dan anak untuk saling berkomunikasi sekaligus menghindarkan anak dari terlalu banyak menghabiskan waktu dengan temannya.
Ketika anak telah mau terbuka bercerita, yang perlu dilakukan orangtua adalah mendengarkannya dengan sungguh-sungguh tanpa menghakiminya. Orangtua juga perlu menunjukkan kepercayaan kepada anak, karena ketika anak merasa dipercaya, anak akan berusaha untuk menjaga kepercayaan tersebut.

Meminta bantuan orang lain
Pada masa remaja, anak seringkali lebih mau mendengar kata-kata orang lain yang bukan orangtuanya. Oleh karena itu, ada baiknya jika orangtua meminta tolong pada seseorang yang dipercaya, dihormati oleh anak, serta akrab dengan anak. Mintalah pada orang itu untuk membimbing anak agar tidak meniru perilaku buruk temannya.

Memberikan batasan yang tegas terhadap perilaku anak
Orangtua harus tetap bersikap tegas menolak perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai. Ketika anak melakukan kekerasan, melanggar norma-norma atau hukum, orangtua harus memberikan konsekuensi tegas kepada anak.

Menjauhkan anak dari teman
Apabila semua cara sudah ditempuh namun tidak membuahkan hasil, orangtua mungkin harus memisahkan anak secara fisik dari temannya, dengan cara berpindah tempat tinggal atau memindahkan anak dari sekolahnya saat ini.


Sumber inspirasi :

Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.


Baca lebih lanjut...

Sabtu, 20 Februari 2010

SUKA BOHONG


Berbohong pasti pernah dilakukan oleh semua anak manapun. Memang wajar bahwa sekali waktu anak berbohong kepada orangtua. Akan tetapi, bila berbohong menjadi kebiasaan anak, orangtua tentu merasa jengkel, bahkan orangtua bisa jadi merasa diremehkan oleh anak. Dalam mengatasi perilaku anak yang suka bohong, orangtua perlu memahami penyebab yang mendasari mengapa anak memilih untuk berkata bohong. Di bawah ini akan diuraikan hal-hal yang melatarbelakangi perilaku berbohong beserta langkah yang bisa ditempuh orangtua untuk menghentikan kebiasaan berbohong anak.

Faktor Penyebab


Penyebab yang berasal dari diri anak
Anak berbohong karena ingin :

Ingin dipuji, dikagumi. Keinginan anak untuk dikagumi, dipuji, membuat anak suka membuat cerita yang melebih-lebihkan tentang dirinya, atau menyombongkan hal yang sebenarnya tidak dipunyainya.
Ingin menghindari hukuman atau sesuatu yang tidak menyenangkan
Ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya
Ingin melindungi teman
Ingin mengakali/mencurangi orang lain


Penyebab yang berasal dari lingkungan
Tuntutan yang terlalu tinggi
Anak selalu menginginkan perhatian, pujian, dan penerimaan dari orangtua. Sebagian anak yang merasa tidak mampu memenuhi tuntutan orangtua, memilih berbohong untuk mendapatkan hal-hal itu.

Penyajian model/contoh ketidakjujuran
Anak yang terbiasa melihat orang dewasa berbohong, akan cenderung meniru dan menjadi suka berbohong pula. Anak akan berpikir bahwa berbohong boleh dijadikan cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau menghindar dari sesuatu hal yang tidak menyenangkan.

Label “pembohong” yang diberikan kepada anak
Sikap orang-orang sekitar yang tidak percaya atau mengecap anak sebagai pembohong, membuat anak frustrasi. Akibatnya, anak berpikir bahwa lebih baik berbohong sekalian saja daripada susah-susah berusaha mengatakan kebenaran namun tetap tak dipercaya.


Langkah untuk Mengatasi
Lebih banyak menunjukkan penerimaan terhadap anak
Tuntutan terhadap anak hendaknya disesuaikan dengan kemampuan anak, agar anak tak merasa bahwa dirinya tidak sanggup menjadi seperti apa yang diharapkan orangtua. Ketika anak merasa dicintai seutuhnya dan diterima apa adanya dengan segala kelemahannya, anak merasa tidak perlu berbohong. Saat anak melakukan kesalahan, orangtua bisa menegurnya tanpa menyudutkan atau mengolok-olok anak. Hukuman atas kesalahan anak sebaiknya juga tidak terlalu berat, supaya anak tidak merasa terlalu takut menghadapi kesalahannya.
Memberikan hukuman atas kebohongan anak dan memberikan penghargaan atas kejujurannya
Apabila anak melakukan suatu perbuatan yang buruk, kemudian berbohong, berarti anak layak mendapat dua hukuman, satu hukuman untuk perbuatan buruknya, dan satu hukuman khusus untuk kebohongannya. Sebaliknya, apabila anak jujur mengakui kesalahannya, orangtua hendaknya memberikan penghargaan terhadap kejujurannya itu dengan memperingan hukuman yang semestinya diterima anak akibat telah melakukan perbuatan yang salah. Katakan kepada anak, bahwa jika ia mau jujur, Anda akan sedapat mungkin berusaha mengatasi masalah yang timbul akibat kesalahannya.
Berusaha mencari fakta secara lengkap
Apabila orangtua mulai curiga bahwa anak menyembunyikan masalah, orangtua bisa berusaha mengumpulkan bukti-bukti dari sumber lain selain anak. Kemudian, sesudah orangtua yakin mengetahui faktanya, orangtua langsung membicarakan masalah tersebut dengan anak. Pembicaraan ini hendaknya difokuskan untuk mencari jalan pemecahan masalah, bukannya untuk menyalah-nyalahkan anak. Sebagai contoh, ketika orangtua telah yakin mengetahui bahwa sang anak baru saja memukul temannya, orangtua bisa berkata kepada anak, “Mamanya Andi bilang pada mama bahwa kamu memukul Andi dan Andi menangis karenanya. Mama tahu kamu merasa bersalah. Sekarang, bagaimana sebaiknya supaya besok Andi mau bermain lagi bersama kamu? Kalau kamu mau, mama akan temani kamu minta maaf padanya. Mungkin kamu juga bisa memberikan sesuatu buat menghibur Andi.” Umumnya, anak akan berbohong jika orangtua menginterogasi atau memancing anak dengan pertanyaan supaya anak mengakui kesalahannya, sebab anak mengira orangtua pasti akan memarahinya. Oleh sebab itu, daripada menginterogasi anak, lebih baik langsung menghadapkan anak pada fakta yang menjadi masalah, kemudian bersama-sama mencari jalan pemecahannya.
Menyajikan model/contoh kejujuran
Orangtua bisa memberikan teladan kejujuran dengan cara menepati janji yang dibuat dengan anak, mau mengakui kesalahan, dan tidak berkata bohong kepada anak maupun orang lain.


Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.

Baca lebih lanjut...