Selasa, 18 Agustus 2009

AGRESIF

Yang dimaksud dengan perilaku agresif adalah perilaku yang bertujuan untuk membuat orang lain mengalami cedera atau sakit. Perilaku agresif sesungguhnya merupakan reaksi normal pada anak-anak yang masih kecil (usia 2-3 tahun). Anak-anak secara naluriah akan memunculkan perilaku ini ketika mereka merasa tidak nyaman, ketika mereka ingin melindungi diri mereka, atau ketika mereka ingin mencapai suatu tujuan tertentu namun tidak mengetahui bagaimana cara yang lebih baik untuk meraihnya. Selain itu, perilaku agresif juga merupakan cara khas anak kecil untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka tidak suka pada apa yang dilakukan orang lain terhadap mereka. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usia mereka, anak-anak seharusnya menjadi semakin mampu menggunakan cara-cara yang lebih tepat untuk meraih tujuannya, sehingga tidak perlu bertindak dengan cara yang agresif.

Bentuk perilaku agresif

Pada intinya, perilaku agresif adalah perilaku yang mempunyai tujuan membuat orang lain merasa sakit. Sakit di sini bisa berarti sakit secara fisik, maupun sakit secara psikis. Perilaku agresif yang menyebabkan sakit fisik antara lain memukul, menggigit, mencubit, menendang, menginjak, melempari orang dengan benda. Sementara perilaku yang menyebabkan sakit psikis pada orang lain antara lain mengucapkan kata-kata hinaan atau mengejek, memaki dengan kata-kata kotor, melecehkan, mengancam, atau memerintah orang lain seperti seorang bos.


Faktor Penyebab

Kecenderungan anak berperilaku agresif bisa meningkat karena faktor-faktor di bawah ini.


Ketidakmatangan anak
Anak-anak yang kurang mampu mengendalikan diri kesulitan untuk mengelola perasaan frustrasinya, sehingga ketika merasa kecewa dan marah, mereka secara impulsif akan bereaksi dengan berperilaku agresif. Mereka tidak mampu membentuk gambaran mental atas perasaan dan keinginannya, tidak mampu melakukan dialog dalam diri (berbicara dengan diri sendiri atas perasaan-perasaannya), sehingga tindakan fisiknya menjadi satu-satunya wujud ungkapan perasaannya. 


Kecenderungan fisik anak
Anak yang lahir dengan kecenderungan aktif, yang kecenderungan fisiknya antara lain : mempunyai tonus otot kuat, tingkat energi tinggi, suka mencari sensasi indera (mencari physical input), atau yang memiliki indera peraba kurang sensitif, akan cenderung bergerak lebih banyak dan kuat, serta menggunakan mekanisme tindakan fisik dalam meraih apa yang diinginkannya. Anak yang indera perabanya kurang sensitif, akan menyentuh, memegang dengan lebih kasar dibandingkan dengan orang yang indera perabanya memiliki sensitivitas normal, sehingga, perilaku mereka ini sering disalahinterpretasikan (dikira memukul, mendorong, atau sengaja menyakiti, padahal mereka tidak bermaksud seperti itu).
Sebaliknya, pada anak yang memiliki indera terlalu sensitif, mereka juga cepat menjadi marah karena mudah merasa tidak nyaman dengan adanya stimulus-stimulus dari lingkungan. Stimulus suara, misalnya, yang bagi orang lain tidak mengganggu, bagi mereka menyakitkan telinga mereka, sehingga mereka menjadi gusar. Sensitivitas mereka mungkin juga membuat mereka mudah cemas/takut, namun kecemasan dan ketakutan ini mereka atasi dengan usaha memanipulasi atau mengontrol orang-orang sekitar mereka, yaitu dengan marah-marah dan bertindak agresif.

Kurangnya pengalaman diayomi
Kurangnya pengalaman diayomi kebutuhannya, membuat anak gagal mengembangkan kemampuan empati. Mereka kurang peduli kepada orang lain karena mereka tidak mengalami adanya seseorang figur yang secara konsisten memelihara dan mengayomi mereka. Problem ini biasa dikenal dengan kegagalan proses attachment. Attachment atau kelekatan anak pada figur pengasuhnya adalah fondasi esensial bagi berkembangnya rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang, dan kepedulian kepada orang lain.


Keterbatasan kemampuan komunikasi anak
Anak yang tidak cakap berkomunikasi, kesulitan men
yatakan perasaan tidak senang mereka atas perilaku orang lain. Akibatnya, cara yang mereka tempuh untuk menunjukkan rasa tidak senang adalah berperilaku agresif. Hambatan dalam berkomunikasi juga membuat anak kurang bisa mengungkapkan kepada orang lain kehendak atau keinginan mereka, sehingga jalan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan mereka tempuh dengan bertindak agresif.

Adanya model agresif
Perilaku agresif bisa dipelajari anak dari lingkungannya. Acara televisi yang menayangkan adegan-adegan kekerasan, maupun perilaku orang-orang dalam keluarga yang menggunakan cara-cara agresif, apabila secara terus-menerus dilihat anak, akan secara otomatis terinternalisasi dalam diri anak, sehingga k
ecenderungan anak melakukan perilaku agresif menjadi semakin besar. Orangtua yang menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak, sesungguhnya juga merupakan model agresif. Dengan melihat bagaimana orangtua memukul, menghajar dirinya, anak belajar bahwa ketika ingin memaksa orang lain melakukan apa yang kita kehendaki, cara-cara kekerasan bisa digunakan.

Sikap orangtua yang menguatkan perilaku agresif
Kadangkala, secara tidak sadar, orangtua menuruti kemauan anak yang mengamuk. Ini mengakibatkan anak di kemudian hari akan menempuh cara yang sama untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu dengan mengamuk. Reaksi berlebihan yang ditunjukkan orangtua ketika melihat anak menyerang orang lain, juga bisa membuat anak semakin senang menyerang orang lain. Memberikan perhatian ketika anak berperilaku buruk, sementara ketika anak berperilaku baik, lupa memberikan perhatian, merupakan kesalahan yang sering dilakukan orangtua. Anak selalu menginginkan perhatian, dan oleh karena itu, anak akan melakukan perilaku yang bisa menarik perhatian orangtuanya. Ap
abila berperilaku agresif menjadi satu-satunya cara mendapatkan perhatian orangtua, anak pun akan semakin sering menunjukkan perilaku agresif. Bagi anak, mendapat perhatian yang sifatnya negatif (amarah, bentakan, tatapan mata melotot dari orangtua), masih lebih baik daripada sama sekali tidak mendapat perhatian.
Beberapa orangtua membiarkan anak berperilaku agresif karena pemikiran-pemikiran tertentu, misalnya : “Memukul adalah sesuatu yang wajar dilakukan anak laki-laki,” “Ia pantas memukul temannya karena temannya nakal lebih dulu.” Ketidaktegasan orangtua untuk melarang anak bertindak agresif ini membuat anak tidak segera memahami bahwa perilaku agresif adalah perilaku yang tidak diterima, sehingga karenanya, mereka terus melakukan perilaku-perilaku agresif dengan berbagai alasan.


Kehausan anak laki-laki akan figur laki-laki
Anak laki-laki sangat membutuhkan sosok laki-laki dalam hidupnya, terutama ketika mereka dalam rentang usia 4-12 tahun. Pada usia ini, mereka secara naluriah tertarik untuk belajar bagaimana bersikap maskulin. Apabila figur laki-laki tidak tersedia, mereka akan mengalami hambatan untuk mempelajari sikap maskulin yang tepat, dan biasanya, mereka menjadi cenderung salah mengartikan kekerasan, pemberontakan, dan sikap permusuhan terhadap orang lain sebagai sifat maskulin.



Langkah untuk Mengatasi


Memberikan ekstra kasih sayang, kehangatan, dan rasa aman
Ini adalah langkah awal yang paling mendasar. Dalam mengatasi perilaku agresif anak, kita cenderung terjebak pada sikap atau metode yang terlalu kaku, penuh penghakiman, dan 
berorientasi pada hadiah-hukuman, padahal kondisi ini justru tidak akan efektif. Anak membutuhkan perhatian, kasih sayang, kehangatan, dan rasa aman yang timbul dari keyakinan dirinya bahwa kita ada untuknya. Dia membutuhkan sebuah relasi mengayomi (nurturing relationship) yang konsisten. Dari sana lah anak mulai belajar sikap lembut terhadap orang lain. 

Memberikan batasan yang tegas
Orangtua harus secara tegas menyatakan ketidaksetujuan atas perilaku agresif yang dilakukan anak. Tegur anak tiap kali ia melakukan tindakan yang agresif. Jelaskan bahwa tindakan agresif tersebut bukan tindakan yang baik untuk dilakukan, karena menyebabkan orang lain sakit.
Orangtua juga bisa memberlakukan sistem hukuman kepada anak untuk menghentikan kebiasaan bertindak agresif ini. Hukuman dalam bentuk time out biasanya sudah cukup efektif. Ketika anak melakukan perilaku agresif, segera tempatkan anak dalam suatu ruang tertentu dan biarkan ia sendirian di sana selama waktu yang ditentukan. Waktu time out tidak perlu lama, dua menit saja cukup untuk anak yang masih kecil usianya. Saat menjalankan time out, katakan kepada anak secara singkat perilaku mana yang menyebabkan ia harus dihukum dengan time out, dan berapa menit ia harus menjalani time out-nya. Tempat untuk time out bisa berupa boks bayi, kursi di sudut ruang, kamar tidur, atau kamar mandi. Sesungguhnya, tempat yang digunakan untuk time out tidak perlu berupa ruang tertutup. Apabila anak patuh menaati perintah orangtua untuk tinggal diam di tempat, orangtua sesungguhnya tidak perlu mengunci ruang. Akan tetapi, apabila anak keluar mengikuti orangtua, orangtua bisa mengunci ruang dengan memberikan peringatan terlebih dahulu.
Hukuman fisik sama sekali tidak disarankan untuk digunakan dalam usaha menghilangkan kebiasaan berperilaku agresif. Sekalipun tampak bahwa hukuman fisik bisa menghentikan anak untuk bertindak agresif, efek ini hanya berlangsung sementara waktu saja. Sesungguhnya hukuman fisik justru akan semakin membangkitkan rasa permusuhan dalam diri anak, sehingga di kemudian hari, anak akan menjadi lebih agresif. Selain itu, memberikan anak hukuman fisik sama artinya dengan menyajikan model atau contoh perilaku agresif. Ketika melihat orangtua menghukum dirinya dengan cara kekerasan fisik, anak menerima pesan bahwa menyakiti orang lain bisa digunakan sebagai cara membuat orang lain tunduk dan takluk terhadap keinginan kita.


Memberikan perhatian positif terhadap perilaku non-agresif anak
Jangan lupa untuk memberikan perhatian positif kepada perilaku anak yang tepat, yaitu perilaku yang tidak agresif. Berikan pujian saat anak berlaku baik kepada temannya, atau saat menyampaikan keinginan dengan cara yang sopan. Tanpa mengimbangi hukuman dengan perhatian positif ini, hukuman akan menjadi tidak efektif.
Pemberian perhatian positif bisa juga dilakukan dengan cara membuat kontrak atau perjanjian dengan anak, di mana orangtua mencatat tiap kali anak tidak berperilaku agresif. Contohnya, apabila anak tidak melakukan tindakan agresif selama satu hari, orangtua memberi tanda bintang di tabel hari tersebut. Sebagai permulaan, anak mungkin perlu dihargai usahanya sekedar untuk tidak berperilaku agresif selama satu jam saja, dan jika demikian, orangtua bisa membuatkan tabel untuk mencatat ketidakmunculan perilaku agresif per jam. Bintang atau poin yang terkumpul kemudian bisa ditukarkan dengan hadiah-hadiah kecil yang menarik bagi anak.
Sesungguhnya, apabila orangtua secara konsisten bisa memberikan perhatian positif atas perilaku anak yang nonagresif, hukuman tidak diperlukan, orangtua cukup mengabaikan perilaku anak yang agresif untuk melenyapkan kebiasaan buruk anak tersebut. Anak secara otomatis akan mengejar bagaimana supaya ia bisa mendapatkan perhatian dari orangtuanya, sehingga jika ia melihat bahwa orangtua memberikan perhatian ketika ia melakukan tindakan yang nonagresif, ia akan terus berusaha melakukan perilaku nonagresif tersebut. Sebaliknya, ketika anak mengetahui bahwa tindakan agresif yang dilakukannya tidak akan menarik perhatian orangtua, anak pun akan berhenti melakukannya. Teknik mengabaikan sebagai cara menghentikan kebiasaan buruk anak memang cukup sering diragukan oleh orangtua, akan tetapi, dari banyak penelitian, cara ini sungguh-sungguh telah terbukti efektif, asalkan dikombinasikan dengan pemberian perhatian yang positif terhadap perilaku yang dikehendaki. Hanya saja yang perlu diperhatikan orangtua, mengabaikan perilaku agresif hanya bisa dilakukan orangtua jika perilaku agresif anak tidak sampai taraf yang membahayakan keselamatan orang lain.


Mengajarkan cara mengelola emosi
Keinginan untuk melakukan tindakan agresif sering bersumber dari perasaan kecewa dan marah. Anak perlu dibimbing untuk dapat menguasai diri saat dilanda oleh emosi negatif ini. Ajari anak untuk membawa perasaannya menjadi sebuah gambaran mental dalam imajinasinya, atau menerjemahkan perasaannya menjadi kata-kata dalam pikirannya. Kita bisa mulai mengajarkan hal ini dengan cara menerjemahkan perasaan anak tiap kali anak mulai menunjukkan kemarahannya. Misalnya kita melihat anak cemberut atau hendak mulai memukul, kita berkata kepadanya, "Johan ingin nonton video, tapi mama ingin kamu nonton nanti sesudah mandi." Atau ketika ia marah pada adiknya, kita berkata "Johan jengkel adik mengambil mobil-mobilan itu tanpa ijin."

Kita juga bisa mengajarkan teknik relaksasi untuk membantu anak mengendalikan emosinya. Teknik relaksasi bisa dilakukan dengan mengambil napas panjang, berhitung 1-10, atau menyingkir sejenak ke tempat lain yang lebih tenang. Selanjutnya, anak bisa diajari untuk menyalurkan rasa sedih, kecewa, atau marahnya melalui aktivitas positif yang dapat diterima, misalnya mencorat-coret kertas, melumat-lumat clay, berolah raga, memukul kantong tinju, melemparkan bola ke tembok halaman belakang rumah, dan lain-lain. Orangtua juga bisa memberi tahu anak bahwa berimajinasi melakukan perilaku agresif boleh-boleh saja dilakukan, karena hanya sebatas dalam angan-angan. Anak yang mempunyai sarana untuk menyalurkan kejengkelannya, akan menjadi kecil kemungkinannya untuk bertindak agresif.

Mengajarkan self-talk
Apabila anak bertindak agresif secara impulsif atau bertindak agresif karena mengalami kesulitan untuk mengendalikan dirinya, orangtua bisa mengajari anak untuk berkata-kata kepada diri sendiri untuk menuntun perilakunya. Katakan kepada anak bahwa ketika muncul keinginan dalam hatinya untuk mulai memukul atau menyakiti orang lain, ia bisa berkata pada dirinya sendiri, misalnya, “Stop, jangan memukul, tapi katakan keinginanmu”. Pada mulanya, orangtua perlu membantu mengingatkan anak akan kata-kata itu dengan cara mengucapkannya sembari mendampingi anak, selanjutnya, anak bisa menghafalkan kata-kata itu sehingga bisa otomatis mengatakan kepada dirinya sendiri saat diperlukan.


Mengajarkan keterampilan sosial : berbicara asertif dan bernegosiasi
Seringkali anak bertindak agresif karena ia kurang mampu menyatakan secara verbal (dengan kata-kata) tentang ketidaksetujuannya atas perilaku orang lain. Oleh karena itu, penting untuk sejak dini mengajari anak menyatakan perasaannya kepada orang lain dalam bentuk kata-kata. Sebagai contoh, anak bisa diajari berkata-kata seperti berikut, “Aku kesal kalau kamu merebut giliran bermainku,” ketika giliran bermainnya direbut oleh teman, atau “Itu milikku. Aku ingin kamu mengembalikannya,” ketika ia ingin temannya mengembalikan mainannya. Saat mengajarkan tentang berbicara asertif, orangtua bisa menjelaskan kepada anak bahwa berterus terang menyatakan perasaan tidak senang atau keberatan atas tindakan orang lain boleh-boleh saja dan baik untuk dilakukan, namun dalam menyatakannya, kita tidak perlu mengeluarkan kata-kata yang menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain, kita bisa menyatakannya dengan kalimat yang sopan. Membiasakan anak berbicara asertif juga bisa dimulai dengan memberikan contoh, yaitu orangtua menyatakan perasaannya ketika menegur anak. Misalnya, “Mama kesal kalau melihat mainanmu berantakan di kamar. Mama ingin kamu mengembalikannya lagi ke tempatnya sesudah selesai bermain.”
Keterampilan sosial lain yang perlu diajarkan adalah keterampilan untuk bernegosiasi atau berunding dengan orang lain untuk mencari jalan keluar. Ajak anak memikirkan bagaimana mencari jalan keluar dari konflik yang dialaminya tanpa melakukan perilaku agresif. Sebagai contoh, ketika anak menghadapi temannya yang merebut mainan yang sedang ingin dimainkannya, ia bisa diajari untuk menawari temannya mainannya yang lain dan membujuk agar temannya mau menukar mainan yang diinginkannya dengan mainan lain itu, atau mengajak temannya bertukar mainan dengan miliknya.


Mengemukakan dampak negatif dari perilaku agresif anak
Tunjukkan kepada anak bahwa tindakan agresif yang dilakukannya membawa akibat buruk tidak hanya bagi orang lain, tapi juga bagi dirinya sendiri, yaitu membuat temannya meninggalkannya saat bermain bersama, membuat dirinya tidak disukai dan dihindari teman-teman, dimarahi guru, dan lain-lain. Orangtua juga bisa mengajak anak untuk mengambil langkah memperbaiki dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku agresifnya, misalnya memberikan permen coklat kepada teman yang menangis karena baru saja dicubitnya, sambil tak lupa meminta maaf.


Menghindarkan anak dari melihat model-model agresif
Hindarkan anak dari melihat acara televisi yang terus-menerus menayangkan adegan kekerasan. Apabila anak menonton acara televisi yang seperti itu, orangtua perlu mendampingi sambil memberikan bimbingan. Orangtua bisa mengajak anak mencermati bahwa sebenarnya masih ada jalan keluar lain yang bisa ditempuh tokoh-tokoh di film itu selain cara kekerasan. Tekankan juga bagaimana dampak negatif dari kekerasan yang dilakukan tokoh-tokoh film tersebut. Selain menghindarkan anak dari tayangan televisi yang banyak mengandung kekerasan, usahakan juga agar orang-orang di lingkungan rumah pun tidak memberikan contoh perilaku agresif yang bisa dilihat anak. Sedapat mungkin, anak jangan sering melihat antaranggota keluarga saling perang mulut, saling mengkritik, menyalahkan, atau menghina.


Memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak berbuat baik pada orang lain
Apabila anak terbiasa berbuat baik dan menolong orang lain, kecil kemungkinan baginya untuk melakukan tindakan yang menyakiti orang lain. Oleh karena itu, ajak anak tiap kali ada kesempatan untuk memberi pertolongan-pertolongan kecil kepada orang lain, menunjukkan kasih sayang dengan perbuatan baik kepada orang lain. Dengan cara ini, anak perlahan-lahan akan menikmati berbuat baik, sehingga semakin termotivasi untuk melakukan kebaikan bagi orang lain.


Mencari penyebab di balik perilaku agresif anak
Anak melakukan perilaku agresif karena ada kebutuhannya yang tidak terpenuhi. Oleh karena itu, ada baiknya orangtua mencermati juga apa yang menyebabkan anak bertindak agresif. Sebagai contoh, apabila anak menjadi agresif karena merasa sumpek berada dalam lingkungan yang sempit, orangtua bisa mengarahkan anak untuk bermain di luar ruangan yang memungkinkannya bergerak lebih leluasa. Menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan menyediakan dukungan juga bisa menjadi cara ampuh untuk mengatasi perilaku agresif anak yang kesulitan menghadapi kesedihan dan frustrasinya.


Dalam menghadapi anak agresif yang sedang dilanda kemarahan yang kuat, penting bagi orangtua untuk tetap bersikap tenang. Berusahalah menangani anak dengan cara yang tegas namun tetap tenang. Hindari bentakan, karena nada suara yang tinggi bisa makin meninggikan emosi anak. Apabila orangtua hendak memindahkan anak, pegang tangan anak dengan lembut, jangan menariknya dengan keras. Mencoba membacakan perasaan marah yang dialami anak biasanya sangat membantu meredakan kemarahannya. Sebagai contoh, orangtua bisa berkata, “Kamu sangat marah karena adikmu merusakkan mainanmu,” sambil menatap mata anak dengan tatapan lembut. Dengarkan juga penjelasan anak dengan penuh perhatian. Biarkan anak tahu bahwa Anda peduli juga pada perasaannya, sekalipun setelah itu Anda tetap menyatakan ketidaksetujuan Anda terhadap perilaku agresif yang dilakukannya.

Last reviewed : Juli 2014


Sumber inspirasi :

Biddulph, S., 2005.
Raising Boys (Alih bahasa : Daniel Wirajaya, S.S.). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Greenspan, S.I., 1995. The Challenging Child. United States of America : Da Capo Press.
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981.
How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kesediaan Anda memberikan komentar. Komentar yang Anda berikan akan sangat bermanfaat bagi saya dalam mengembangkan tulisan-tulisan saya.