Jumat, 24 September 2010

Mengasuh Anak Paska Perceraian


Ketika langkah cerai terpaksa ditempuh, rasa bersalah terhadap anak mungkin menghinggapi Anda, karena sebagai orangtua Anda merasa tak dapat melakukan yang terbaik untuk mereka, yaitu mempertahankan perkawinan Anda. Memang tak dapat dipungkiri bahwa perceraian berpotensi merusak kehidupan anak. Perceraian mengakibatkan anak terpaksa berpisah dengan salah satu orangtua, dan kehidupan keluarga yang mengalami banyak perubahan setelah perceraian menuntut anak untuk beradaptasi. Akan tetapi, sekalipun perceraian membawa serangkaian masalah dan dampak buruk untuk anak, sesungguhnya masih ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk membuat anak merasa lebih baik. Anda tidak hanya bisa membantu mengobati rasa pedih dan kecewa yang dirasakan anak, tetapi juga bisa membimbing mereka untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa. Perlu diketahui, jika orangtua bisa mengusahakan tertanganinya permasalahan sehari-hari di masa krisis sesudah perceraian, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa dan lebih tahan banting daripada anak-anak lain. Mereka juga akan menjadi pengambil keputusan yang baik.
Mengasuh anak sesudah perceraian memang bukan hal yang mudah. Di saat Anda sedang mengalami guncangan emosi hebat, Anda dituntut untuk tetap mengurus dan memenuhi kebutuhan anak Anda dengan baik. Tampaknya tak ada waktu bagi Anda untuk berhenti dan beristirahat sejenak dari perjalanan hidup yang melelahkan ini. Masalah semakin bertambah ketika anak Anda mulai menunjukkan perubahan perilaku yang tidak Anda kehendaki, mungkin mereka menjadi agresif, lebih mudah marah, lebih manja, sering rewel, mudah menangis, atau sulit diatur. Semuanya membuat Anda merasa semakin sulit. Di bawah ini, akan diberikan beberapa langkah yang meskipun tidak akan memperingan beban Anda, bisa membantu Anda lebih efektif memenuhi kebutuhan anak. Dengan semaksimal mungkin memberikan apa yang dibutuhkan anak, Anda bisa membuat mereka lebih mudah melewati saat-saat sulit yang menguras tenaga serta emosi ini. Apabila anak cepat beradaptasi dengan situasi ini, Anda pun tentu akan merasa jauh lebih baik.

Memahami perasaan anak
Memahami apa yang mereka rasakan akan membuat Anda lebih mudah membantu mereka. Berikut ini adalah berbagai perasaan yang umumnya dirasakan anak yang orangtuanya bercerai :
# Anak marah karena merasa bahwa keputusan cerai itu adalah keputusan sepihak yang diambil orangtua tanpa melibatkan dirinya atau tanpa mempertimbangkan pendapatnya.
# Anak merasa bersalah, merasa dirinya menjadi penyebab perceraian kedua orangtuanya. Perasaan ini timbul karena anak, terutama yang usianya masih kecil, belum mampu sepenuhnya memahami alasan mengapa kedua orangtuanya bercerai. Mereka mungkin masih ingat betul bahwa ketika itu mama dan papa bertengkar hebat sesudah dirinya jatuh terpeleset genangan ompol, atau karena dirinya menyenggol keramik di swalayan hingga pecah. Mereka melihat bahwa pertengkaran kedua orangtua mereka terjadi akibat ulah mereka, sehingga berpikir bahwa mereka lah yang menjadi penyebab perceraian ini.
# Anak khawatir tidak bisa bertemu orangtuanya lagi
# Anak bingung karena ingin menyayangi kedua orangtuanya tapi kenyataannya kedua orangtuanya bermusuhan dan bahkan salah satu orangtuanya telah pergi.
# Anak khawatir orangtuanya tidak lagi mencintainya dan akan menelantarkan dirinya. Melihat bahwa salah satu orangtua meninggalkan rumah membuat anak merasa tidak dicintai dan dianggap remeh. Anak berpikir bahwa orangtua yang pergi tega meninggalkan ayah/ibunya serta dirinya. Hal ini selanjutnya membawa pikiran negatif dalam diri anak, jangan-jangan ayah/ibu yang saat ini bersamanya pun suatu saat akan pergi meninggalkannya.
#Anak terlalu mencemaskan kesehatan dan kesejahteraan orangtua yang mengasuhnya, khawatir kalau-kalau suatu saat orangtua pengasuh tersebut tidak bisa merawat mereka lagi.
Anak-anak tidak memiliki kematangan emosi untuk menghadapi peristiwa yang sangat menyedihkan, sehingga mereka cenderung memanifestasikan perasaan sedih, marah, kecewa dalam berbagai perilaku yang menimbulkan masalah. Beberapa anak bahkan menderita sakit psikosomatis (sakit yang bersumber dari kondisi psikologis, bukan dari sumber fisik), seperti mual, sakit perut, pusing. Ada juga anak yang berusaha mati-matian mengubur perasaannya dan mati-matian berusaha menjadi anak yang baik. Langkah pertama yang bisa Anda lakukan untuk membantu mereka beradaptasi dengan peristiwa buruk ini adalah menerima perasaan-perasaan mereka. Berikan toleransi kepada mereka dalam mengekspresikan perasaan mereka, sambil perlahan-lahan mengalihkan perhatian mereka pada hal-hal positif atau hal-hal yang bisa membuat mereka lebih gembira.

Menciptakan emosi positif pada anak
Tidak baik jika anak terus berlarut-larut dalam perasaan sedih, kecewa, atau marah. Anda bisa melakukan sesuatu untuk mengurangi kesedihan dan mengembalikan keceriaan mereka. Berikut ini langkah yang bisa Anda lakukan :
# Katakan bahwa banyak juga keluarga lain yang terpaksa bercerai, bahkan mungkin ada teman sekelasnya yang mama-papanya bercerai.
# Katakan bahwa Anda akan selamanya menjadi orangtua mereka yang akan selalu menyayangi dan menjaga mereka.
# Katakan bahwa meski pasangan Anda tidak lagi tinggal bersama, dia akan tetap menjadi orangtua mereka. Beri tahu di mana pasangan Anda akan tinggal, dan bagaimana mereka bisa berkomunikasi atau bertemu.
# Ajak anak membantu urusan pekerjaan rumah tangga Anda. Anak akan senang dan bangga jika merasa dirinya bisa berguna bagi orangtua, oleh karena itu, ajak anak melakukan pekerjaan rumah kecil-kecil bersama Anda, misalnya menata meja makan, menyiram tanaman, atau memasukkan pakaian yang sudah dikeringkan ke dalam keranjang. Bagi anak, melakukan pekerjaan rumah bersama Anda adalah suatu hal tak kalah asyiknya dibanding bermain. Tentu saja hasil pekerjaan mereka seringkali tidak memuaskan, akan tetapi, jangan fokuskan perhatian Anda pada kesempurnaan pekerjaan mereka, lihatlah saja kemauan mereka untuk membantu Anda karena mereka begitu mencintai Anda.
# Berikan hadiah kecil. Anda tidak perlu memberikan mereka mainan yang mahal-mahal untuk membuat anak senang. Cukup dengan membuatkan mereka agar-agar, cokelat, atau kue kering yang dibentuk menjadi binatang lucu-lucu, atau mengajak mereka jalan-jalan dan membelikan es krim.
# Dukung anak untuk bermain bersama temannya. Bermain dengan teman sebaya akan menghindarkan anak dari rasa kesepian. Sarankan anak untuk mengajak temannya berenang bersama, bersepeda, atau sekedar bermain di rumah. Jangan biarkan anak Anda mengurung diri atau menarik diri dari pergaulan.
Menciptakan suasana rumah yang menyenangkan penting dilakukan, karena apabila orangtua mampu menciptakan kegembiraan di rumah, anak-anak akan lebih cepat menyesuaikan diri terhadap perceraian orangtua.

Meminimalkan perubahan
Perceraian orangtua membawa serentetan perubahan yang menuntut anak untuk beradaptasi. Oleh karena itu, usahakan tidak menambah lagi perubahan dalam rutinitas anak. Jaga pola makan dan tidur anak. Biarkan anak bersekolah di sekolah yang sama. Akan sangat membantu jika Anda bisa mengupayakan agar anak tinggal di rumah yang sama setidaknya selama 1-2 tahun setelah perceraian.

Mengatur pertemuan dengan orangtua tanpa hak asuh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang kedua orangtuanya tetap aktif menjalankan pengasuhan sekalipun telah berpisah, lebih besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi anak yang mudah menyesuaikan diri, memiliki harga diri yang baik, dan mampu menjalin relasi yang lebih baik dengan orang lain, dibandingkan dengan anak dari keluarga bercerai yang kemudian hanya menerima pengasuhan dari salah satu orangtuanya saja. Oleh karena itu, Anda perlu mengusahakan agar anak tetap menjaga komunikasi dengan orangtua tanpa hak asuh. Aturlah bagaimana cara agar anak secara rutin bisa bertemu dengan mantan pasangan Anda. Berikan izin kepada mantan pasangan Anda untuk mengunjungi anak secara teratur, atau jika tidak, Anda lah yang mengantarkan anak ke rumahnya. Demi menjaga kedekatan emosional, sebaiknya anak juga tidak hanya bertemu selama satu-dua jam, tetapi bisa menghabiskan waktu bersama sehari atau semalam tiap minggunya, sangat baik jika anak bisa menginap di rumah pasangan Anda. Mengatur pertemuan anak dengan mantan pasangan Anda tentu tidak mudah dilakukan. Pertemuan dengan mantan pasangan Anda cenderung memicu kembali pertengkaran antara Anda berdua. Selain itu, rasa benci, marah, dan sakit hati terhadap mantan pasangan membuat Anda sangat sulit merelakan kepergian anak untuk bertemu dengannya. Akan tetapi, ingatlah bahwa semua ini Anda lakukan semata-mata demi anak. Dengan tetap berkomunikasi dengan orangtuanya, anak tidak terlalu merasa kehilangan dan bisa tetap merasakan bahwa dirinya dicintai. Selain itu, anak juga mengetahui dengan pasti bahwa keadaan orangtuanya sehat, sehingga tidak perlu merasa cemas.
Anak-anak memang pada mulanya sering tampak tidak antusias merespon pertemuan atau kunjungan ini. Hal ini wajar, karena anak memahami adanya konflik di antara Anda, sehingga takut kalau-kalau dengan mengekspresikan rasa senang dan sayang kepada mantan pasangan Anda, ia seolah mengkhianati Anda. Selain itu, anak mungkin juga khawatir jika Anda sendirian dan kesepian ketika ia sedang bersama mantan pasangan Anda. Oleh karena itu sangat baik jika Anda mendorongnya agar ia menikmati waktu bersama mantan pasangan Anda tanpa mencemaskan keadaan Anda. Ketika waktu pertemuan belum tiba dan Anda melihat anak sudah merasa kangen, Anda bisa menyarankan anak untuk menelepon atau mengirim pesan singkat.

Meminta dukungan orang dekat
Anda harus menyadari bahwa memaksakan diri mengasuh anak sendirian tidak baik bagi diri Anda maupun anak. Kelelahan yang berlebihan membuat Anda tidak efektif mengasuh anak. Oleh karena itu, mintalah orang-orang dekat untuk membantu, kakek-nenek, tetangga, atau teman Anda. Sekalipun mungkin hanya 30 menit, atau bahkan 15 menit, Anda akan merasakan manfaatnya. Ketika mereka sedang menjaga anak Anda, jangan sibuk mengurusi tugas-tugas rumah tangga, gunakan waktu untuk diri Anda sendiri dengan melakukan sesuatu yang bisa menyenangkan diri Anda, sekalipun sekedar minum secangkir teh atau kopi. Mengajak orang dekat untuk membantu mengasuh juga membuka kesempatan bagi anak untuk menjalin hubungan dekat dengan orang lain selain orangtua. Hal ini penting agar anak tidak bergantung 100% kepada sosok Anda. Anak perlu tahu bahwa selain Anda, masih ada orang lain yang mencintainya dan bisa dijadikan tempat bergantung.

Menjaga kesehatan fisik dan emosional diri Anda sendiri
Perceraian sudah tentu membawa beban berat ke dalam hidup Anda, stres, depresi, dan lelah tak terkira. Anda butuh tetap sehat dan kuat untuk melanjutkan tugas mengasuh anak. Jangan sampai Anda mengabaikan kesehatan Anda. Sedapat mungkin, ambil waktu untuk beristirahat dan menenangkan diri Anda. Ketika Anda merasa sehat, Anda lebih mudah pulih dari guncangan emosi, dan tentunya, juga lebih siap menghadapi anak. Yang terpenting, apabila anak melihat bahwa orangtuanya tetap kuat, sehat dan gembira, mereka akan lebih cepat bangkit dari kesedihan dan stres paska perceraian ini. Kuatkan diri Anda, dan yakin bahwa sesudah masa-masa sulit ini, Anda akan menikmati hidup yang lebih baik.

Hal yang perlu dihindari
# Jangan menceritakan masalah antara Anda dan pasangan atau menceritakan keburukan pasangan Anda. Berapa pun usia anak, anak tidak akan mampu menanggung masalah yang Anda ceritakan kepada mereka. Menceritakan masalah kepada anak hanya akan menambah beban pikiran anak dan menciptakan konflik dalam hati mereka. Anda juga tidak perlu menambah satu kebencian lagi dalam hati anak kepada mantan pasangan Anda. Kebencian mengurangi kebahagiaan.
# Jangan mengumbar harapan kosong. Apabila Anda tahu bahwa pasangan Anda tidak akan pernah kembali, jangan menghibur anak dengan mengatakan bahwa orangtuanya akan kembali. Biarkan anak menghadapi kenyataan pahit ini. Lambat laun dia akan mampu menerimanya.
# Jangan mengenalkan pasangan baru untuk sementara waktu. Anak membutuhkan waktu 2-5 tahun, bahkan lebih untuk beradaptasi dengan perceraian orangtuanya. Oleh karena itu, setidaknya dalam waktu 2 tahun, hindari mengenalkan pasangan baru ke dalam hidup anak.

Khusus untuk orangtua tanpa hak asuh
Jika Anda adalah orangtua tanpa hak asuh, sangat penting untuk meyakinkan anak bahwa dirinya tetap menjadi bagian penting dari hidup Anda. Jaga komunikasi, tepati janji untuk bertemu dengannya, hadirilah pentas atau pertandingannya, juga jangan lupa ucapkan selamat pada hari ulang tahunnya.

Sumber inspirasi :
Charlish, A., 2005. Terjebak di Tengah (alih bahasa : Soraya Abdat). Jakarta : PT Primamedia Pustaka.
Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D., 2003. Human Development. New York : McGraw-Hill.

Baca lebih lanjut...

Mengasuh Anak di Tengah Badai Rumah Tangga


Ketika rumah tangga Anda sehari-hari diwarnai oleh pertengkaran dengan pasangan yang tak kunjung habis, Anda mungkin khawatir bila anak terkena dampak buruk konflik ini. Akan tetapi, percayalah bahwa usaha Anda untuk tetap bertahan dalam konflik ini jauh lebih bermanfaat bagi anak Anda daripada jika Anda dengan tergesa-gesa mengambil keputusan cerai. Dulu, memang ada pandangan bahwa anak lebih baik mengalami perceraian orangtua daripada sehari-hari melihat ketidakharmonisan orangtuanya. Akan tetapi, pandangan ini telah terbukti keliru. Sekalipun konflik antarorangtua mengakibatkan stress pada anak, namun tingkat stress yang dialami anak ketika orangtuanya berkonflik lebih kecil dibandingkan jika anak mengalami kehilangan salah satu orangtua akibat perceraian. Sangat sedikit anak yang merasa senang melihat kepergian salah satu orangtuanya bagaimanapun parahnya perkawinan tersebut. Kehilangan salah satu orangtua akibat perceraian merupakan sumber stress paling besar. Perlu diketahui bahwa anak-anak yang mengalami perceraian kedua orangtua, selama kurun waktu yang lama, bahkan sampai orangtuanya menjalin hubungan baru, terus menyimpan harapan dalam hati bahwa kedua orangtuanya bisa bersatu kembali.
Merupakan hal yang sangat bijaksana jika Anda tetap berusaha bertahan dalam situasi konflik dengan pasangan dan menghindari kata “cerai”, mengingat perceraian adalah sebuah keputusan yang pasti membawa akibat buruk, tidak hanya bagi anak, melainkan juga Anda berdua sebagai orangtua. Perceraian mengganggu berbagai aspek kehidupan anak, mengganggu emosinya, relasi sosialnya, prestasi belajarnya, dan bahkan membawa pengaruh buruk sampai ke kehidupannya sebagai orang dewasa, terutama ketika ia membina hubungan dengan pasangannya kelak. Bagi orangtua sendiri, perceraian bisa membawa dampak stress, depresi, rasa bersalah, kehilangan dukungan, kehilangan relasi dengan anak, kesulitan ekonomi, dan akibat-akibat buruk lain yang bisa disesali seumur hidup. Banyak orangtua bercerai yang lupa mempertimbangkan efek-efek negatif ini. Mereka berpikir bahwa perceraian akan membawa keadaan yang lebih baik, namun kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi. Jarang sekali perceraian menjadi solusi terbaik yang membawa kebaikan bagi kedua belah pihak. Setelah keputusan cerai diambil, banyak wanita maupun pria yang akhirnya menyesal, dan mereka mengakui bahwa sebenarnya perceraian tersebut masih bisa dihindari.

Mengurangi stres pada anak

Yang penting dilakukan dalam mengasuh anak saat orangtua mengalami konflik dengan pasangan adalah berusaha meminimalkan dampak stress pada anak. Anak, karena kepekaannya, mudah membaca ketidakberesan hubungan antara ayah dan ibunya. Sekalipun anak tidak memahami benar situasinya, anak mampu merasakan ketegangan yang dialami ayah atau ibunya. Kesedihan, ketegangan yang dialami ayah dan ibu biasanya membuat anak juga merasa sedih, khawatir dan stres. Meskipun demikian, anak-anak sulit untuk mengungkapkan perasaannya dalam bentuk kata-kata, sehingga orangtua hanya bisa membaca stress yang mereka alami melalui perilaku yang mereka tunjukkan. Ketika anak mengalami stress, mereka akan menunjukkan perubahan perilaku yang mudah dikenali orangtua. Anak-anak mungkin menjadi cengeng, sulit diatur, suka bertengkar, agresif, ceroboh, mengompol lagi setelah sekian lama sudah berhenti mengompol, manja dan tidak mau ditinggalkan sebentar pun, sulit tidur, tidak tertarik dengan aktivitas yang biasa menjadi hobinya, atau mengalami sakit seperti sakit perut, pusing, dan lain-lainnya.
Dalam kondisi anak mengalami stress, orangtua adalah satu-satunya figur yang paling mampu meringankan stress yang dialami anak. Oleh karena itu, usaha yang dilakukan orangtua sangat berarti. Anak akan merasa lebih nyaman bila orangtua tetap menunjukkan cinta dan dukungannya kepada anak. Sedapat mungkin, Anda dan pasangan Anda tetap berusaha berkomunikasi dengan anak secara positif, sekalipun komunikasi antara Anda berdua sedang buruk.
Ketika Anda sedang bergelut dengan perasaan kacau akibat konflik dengan pasangan, sangat wajar bila Anda maupun pasangan menjadi mudah terpancing emosi. Kekesalan Anda terhadap pasangan mungkin meluap menjadi kemarahan besar pada anak saat melihat kelakuan anak yang buruk, atau sebaliknya, kekesalan Anda pada kelakuan anak yang buruk mungkin meluap dalam bentuk kemarahan kepada pasangan Anda sehingga menyebabkan Anda atau pasangan bertengkar hebat lagi. Oleh karena itu, merupakan hal yang penting untuk menyadari dan memahami perasaan-perasaan yang sedang Anda alami, agar Anda lebih mudah mengendalikan perasaan tersebut dan anak tidak menjadi korban letusan emosi Anda. Anak-anak bisa merasa bersalah atas terjadinya pertengkaran kedua orangtuanya. Jika anak melihat kedua orangtuanya bertengkar setelah dirinya melakukan suatu perilaku buruk atau mengalami ‘kecelakaan’ anak akan mengira bahwa gara-gara dirinya lah ayah dan ibunya bertengkar, apalagi bila ia mendengar ayah dan ibunya saling menyalahkan atas perilaku buruk yang dilakukannya atau kecelakaan yang dialaminya tersebut. Perasaan bersalah yang dialami anak ini akan semakin membuat anak stress. Seandainya Anda terlanjur bertengkar dan saling menyalahkan dengan pasangan Anda dan hal ini dilihat anak, Anda bisa memberi tahu anak bahwa sesungguhnya Anda tidak bertengkar karena perilaku anak, melainkan Anda bertengkar karena sebelumnya memang sedang merasa kesal.
Merupakan hal yang sangat penting untuk menghindarkan anak dari melihat langsung ayah atau ibunya disakiti secara fisik. Anak sangat menderita bila ia melihat bahwa ayah atau ibu yang dicintainya dilukai, bahkan anak bisa mengalami trauma psikis karenanya. Apabila Anda dan pasangan selalu terlibat dalam kekerasan fisik ketika bertengkar, kemungkinan jalan terbaik yang harus Anda tempuh adalah menghindar dari pasangan dengan keluar rumah untuk sementara waktu begitu Anda merasakan tanda-tanda akan segera terjadi kekerasan fisik antara Anda berdua.

Meredakan ‘badai’

Konflik merupakan suatu hal yang tidak pernah luput dari semua perkawinan. Semua pasangan yang harmonis pun mengalami saat-saat yang menguras perasaan dan pikiran tersebut. Satu-satunya langkah untuk keluar dari konflik adalah dengan bersedia untuk berdiskusi, di mana dalam diskusi itu kedua pihak mau berkomunikasi secara terbuka dan mau saling mendengarkan. Tentu saja hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Ketika kita berseteru dengan pasangan kita, hilang perasaan cinta dan belas kasih kita kepadanya, dan diri kita lebih dikuasai oleh rasa gengsi yang membuat kita ingin bertahan pada ‘posisi terhormat’. Kita merasa diri kita benar atau enggan untuk dengan jujur merendahkan diri dan mengakui kesalahan kita. Seandainya salah satu pasangan mau untuk melepaskan gengsinya terlebih dahulu, umumnya jalan penyelesaian konflik pun akan terbuka, sebab komunikasi yang efektif dimungkinkan terjadi di sini. Komunikasi yang efektif, yang menjadi syarat terselesaikannya sebuah konflik, baru bisa berjalan jika kedua pihak mau mendengarkan dan berbicara dengan terbuka namun penuh pengendalian diri. Oleh karena komunikasi yang efektif seperti itu sulit dilakukan, maka merupakan hal yang sangat bijaksana jika pasangan suami-istri mau meminta pertolongan seorang ahli atau konsultan perkawinan.
Seorang konsultan bisa membuka jalan komunikasi, membantu pasangan suami-istri untuk berbicara secara terbuka, sambil mengarahkan komunikasi pada tujuan mencapai pemahaman penuh atas permasalahan yang sedang dihadapi. Konsultasi bisa mengungkapkan masalah-masalah yang tersembunyi di balik konflik, yang mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh kedua pihak suami-istri. Pemahaman atas masalah yang mendasari konflik selanjutnya bisa memungkinkan suami-istri menemukan jalan untuk menyelesaikan konflik. Konsultasi dengan bantuan ahli juga bisa membantu suami-istri menemukan kembali sisi-sisi indah dari perkawinan yang bisa menguatkan kembali cinta kasih antara suami-istri. Jangan ragu-ragu untuk menemui konsultan atau ahli, karena konsultasi bisa membawa manfaat lebih daripada yang Anda bayangkan.

Sumber inspirasi :
Charlish, A., 2005. Terjebak di Tengah (Alih bahasa : Soraya Abdat). Jakarta : PT Primamedia Pustaka.

Baca lebih lanjut...

Kamis, 25 Februari 2010

SUKA BICARA KOTOR


Bila suatu ketika anak mengucapkan kata kotor, lalu segera berhenti sesudah dilarang orangtua, ini tak jadi masalah, sebab memang wajar seorang anak ingin mencoba mempraktikkan penggunaan kosakata yang baru saja didengarnya. Akan tetapi, bagaimana jika bicara kotor menjadi kebiasaan anak? Hal ini tentu sangat menjengkelkan orangtua, apalagi jika didengar oleh orang lain, orangtua pun tercoreng mukanya. Lantas, langkah apa yang sebaiknya ditempuh orangtua bila larangan dan peringatan yang sudah berkali-kali diberikan tak juga digubris oleh sang anak? Berikut akan dibahas mengapa anak suka berbicara kotor, dan apa yang bisa dilakukan orangtua untuk mengatasinya.

Faktor Penyebab


Keinginan mendapat perhatian

Begitu anak melontarkan kata kotor, anak segera mendapat perhatian dari orangtua maupun orang dewasa lainnya, sekalipun perhatian itu berbentuk teguran atau amarah.

Ada kesenangan yang diperoleh dari mengejutkan orang lain

Ada perasaan senang yang dialami anak saat berhasil mengejutkan orang lain. Ketika anak bisa membuat orang dewasa shock, seketika ia merasa bisa mengungguli orang dewasa tersebut.

Keinginan melepaskan emosi marah dan kecewa

Anak mungkin menggunakan kata-kata kotor itu untuk mengekspresikan perasaan marah, kesal, atau kecewa pada orang lain.

Keinginan memberontak

Anak mempunyai suatu perasaan bermusuhan terhadap orang dewasa. Selama ini ia mungkin merasa terlalu ditekan, dibatasi, atau mungkin juga merasa diperlakukan dengan kasar, akibatnya ia jadi berkeinginan untuk memberontak dan agresif melawan orang dewasa.

Pandangan salah bahwa kata kotor adalah bagian dari kedewasaan

Anak berpikir bahwa kata kotor adalah kata yang wajar digunakan oleh orang-orang dewasa. Karena ingin merasa dewasa, anak pun menggunakan kata kotor.

Keinginan diterima teman sebaya

Anak yang sudah mulai menginjak usia remaja berjuang untuk mendapat penerimaan dari kelompok teman-teman sebayanya. Beberapa anak mengira bahwa dengan bicara kotor, ia akan dipandang gaul, berani, atau macho oleh teman-temannya.

Mencontoh kebiasaan orang sekitar

Jika orang-orang sekitar yang ditemui anak sehari-hari adalah orang yang tak dapat mengendalikan diri saat marah sehingga suka memaki-maki dengan kata kotor, anak tidak belajar mengembangkan pengendalian diri yang baik, akhirnya anak pun menjadi pribadi yang sulit mengendalikan diri untuk tidak berkata kotor saat marah.

Langkah untuk Mengatasi


Mengajarkan ekspresi emosi yang lebih tepat

Bila anak mengeluarkan kata-kata kotor tiap kali ia marah, ajarkan cara mengekspresikan emosi yang lebih baik, misalnya dengan berbicara asertif, yaitu menyampaikan kepada orang lain tentang ketidaksetujuan kita terhadap perilakunya yang membuat kita merasa tidak nyaman. Anak yang masih kecil biasanya kesulitan untuk merumuskan bagaimana perasaannya, padahal mengenali perasaan beserta penyebab timbulnya perasaan merupakan langkah untuk bisa mengelola emosi secara baik. Oleh karena itu, ketika melihat anak sedang diluapi perasaan marah atau frustrasi, orangtua bisa membantu membacakan perasaannya dan menjelaskan sebab timbulnya perasaan tersebut. Misalnya saja saat anak marah karena diejek teman, orangtua bisa berkata, “Alvin, kamu jengkel sekali ya, karena si Robert mengejek caramu menyanyi di depan kelas. Kamu bisa bilang padanya bahwa kamu jengkel ditertawakan terus, dan minta supaya ia tidak lagi mengungkit hal itu.”

Mengabaikan

Bila tujuan anak adalah mendapatkan perhatian orangtua, atau mendapatkan kesenangan dari membuat orang terkejut, cara mengabaikan ini saja mungkin sudah ampuh menghentikan kebiasaan anak bicara kotor. Mengabaikan dilakukan dengan pura-pura tidak mendengar anak atau tidak menunjukkan ekspresi terkejut saat mendengar kata-kata kotor anak. Jadi, saat anak mengeluarkan kata-kata kotor, orangtua tidak perlu memelototi anak, berteriak, atau memukul anak, melainkan cukup mengalihkan pandangan ke arah lain atau kembali menggeluti aktivitas/kesibukan yang sedang dikerjakan.

Berpura-pura bodoh

Cara ini memang sepintas kelihatan aneh, tapi kadang justru jadi cara yang ampuh. Saat anak mengeluarkan kata-kata kotor, orangtua bertanya dengan lagak bodoh, “Eh, kata apa yang kamu bilang tadi? Apa artinya itu? Mama nggak ngerti. Coba kasih tahu mama.” Dengan bersandiwara pura-pura tidak mengenal kata yang digunakan anak, anak justru jadi merasa bingung, sehingga di lain waktu, ia akan menjadi malas menggunakan kata-kata itu.

Menyatakan ketidaksetujuan

Nyatakan bahwa Anda tidak senang bila mendengar kata-kata itu keluar dari mulut anak. Beri tahu anak bahwa kata-kata yang buruk bisa mencerminkan bahwa orang yang mengatakannya adalah orang yang tidak sopan, atau tidak tahu aturan, sehingga jika ia menggunakannya, orang lain bisa mengira dia anak yang tidak sopan. Bisa juga mengatakan kepada anak, “Teman-temanmu mungkin pakai kata-kata itu, tapi kita tidak,” atau “Mama tidak pernah marahi kamu pakai kata-kata itu, jadi mama juga tidak mau kalau kamu pakai kata-kata itu untuk marah.”

Menggunakan metode hukuman

Begitu mendengar anak melontarkan kata kotor, hukum anak dengan time out. Katakan kepada anak bahwa karena telah mengucapkan kata yang seharusnya tidak diucapkan, ia harus meninggalkan aktivitas yang sedang dilakukannya, pergi ke suatu tempat dan menyendiri di situ selama waktu yang ditentukan (10 menit, misalnya). Biarkan selama waktu itu anak terisolasi atau tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun juga. Apabila anak tidak mau pergi secara sukarela ke tempat yang Anda tentukan, Anda bisa mengangkatnya atau menuntunnya ke sana. Hukuman fisik seperti menampar, mencuci mulut anak dengan sabun, atau memaksa anak memakan sambal, sebaiknya tidak dipilih orangtua, sebab hukuman fisik justru berpotensi meningkatkan rasa permusuhan dalam diri anak.

Menggunakan metode pemberian hadiah

Jika anak sudah lama terbiasa berbicara kotor, sukar baginya untuk langsung berhenti total menggunakan kata-kata kotor tersebut. Dalam keadaan ini, lebih baik orangtua mengadakan perjanjian dengan anak, yaitu bahwa jika dalam waktu yang ditentukan anak tidak berbicara kotor, anak mendapat poin, poin yang terkumpul kemudian ditukar dengan hadiah bila jumlahnya mencapai target. Sebagai contoh, jika dalam sehari anak tidak berbicara kotor, anak mendapat satu tanda centang yang ditulis dalam tabel, di akhir minggu, jika jumlah tanda centang yang diperoleh anak mencapai 5, anak mendapat coklat kesukaannya. Hadiah bisa juga berupa aktivitas yang disukai anak, misalnya bepergian ke tempat wisata, atau bisa juga berupa izin melakukan suatu hal yang diinginkan anak, misalnya orangtua memberikan izin untuk bergadang di akhir pekan menonton film sampai pukul 23.00 malam.

Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.
Baca lebih lanjut...

Minggu, 21 Februari 2010

Mendidik Anak Menjadi Pribadi yang Jujur


Kejujuran adalah salah satu nilai moral yang pada umumnya ingin orangtua tanamkan pada diri anak. Jujur mengacu pada arti penuh kebenaran, dapat dipercaya dalam segala hal, bertindak dengan adil, dan tulus. Kejujuran tidak hanya membawa kebaikan untuk orang lain, melainkan juga untuk diri sendiri. Dengan menjadi jujur, kita merasa damai, tenteram, dan bahagia. Dalam usaha mendidik anak supaya menjadi pribadi yang jujur, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua. Berikut ini akan dibahas apa saja yang bisa dilakukan orangtua untuk membimbing anak menjadi pribadi yang jujur.

Mengajarkan pentingnya kejujuran
Katakan berulang kali kepada anak bahwa jujur membuat kita merasa damai dan tenteram, sebaliknya, bohong membuat kita merasa khawatir dan gelisah. Ajarkan bahwa bohong membuat diri kita menjadi orang yang tidak dipercaya. Semua orang ingin diperlakukan jujur, diberi tahu sesuai fakta, oleh karena itu, jika kita membohongi orang berarti kita tidak menghargai dan mencintai orang yang kita bohongi itu.

Tidak mengajarkan tentang prinsip ‘bohong demi kebaikan’
Apabila orangtua mengatakan bahwa ada kebohongan yang ditujukan untuk kebaikan, anak akan menangkap bahwa bohong bukan sesuatu yang mutlak salah, dan ia akan berpikir bahwa bohong boleh-boleh saja dilakukan dalam situasi tertentu. Beri tahu anak bahwa tidak ada satupun orang yang lebih senang dibohongi, oleh karenanya, dalam keadaan apapun juga, bohong tetap salah. Lebih baik berkata, “Aku tidak ingin mengatakannya,” atau “Aku tidak ingin menjawab,” daripada mengatakan sebuah kebohongan.

Memberikan model/contoh kejujuran
Orangtua harus memberikan teladan bagaimana mempraktikkan kejujuran, sebab anak tidak akan menghormati pengajaran orangtua tentang kejujuran jika ia melihat bahwa orangtuanya sehari-hari bukanlah seorang pribadi yang jujur. Kadang orangtua tidak menyadari bahwa kesalahan-kesalahan sepele yang dilakukan membuat anak memandang bahwa orangtua tidak jujur. Misalnya saja ketika orangtua diam-diam menyelinap keluar rumah dan meninggalkan anak tanpa pemberitahuan, ketika orangtua tidak menepati janji untuk jalan-jalan di akhir pekan, atau ketika orangtua menyuruh anak memberitahu seorang tamu tak dikehendaki bahwa orangtua sedang pergi meski sebenarnya orangtua di rumah. Untuk menjadi model yang jujur, sebaiknya orangtua tidak berbohong kepada anak, tidak mengingkari janji dengan anak yang telah dibuat, mau mengakui kesalahan, dan juga tidak berbohong kepada orang lain.

Menunjukkan penerimaan dan kasih sayang tanpa syarat
Ketika tuntutan orangtua tidak berlebihan, dan anak merasa diterima, disayangi apa adanya, anak akan menjadi pribadi yang nyaman dengan dirinya sendiri, yang berpikir bahwa tidak perlu menjadi orang lain untuk menyenangkan orangtuanya. Penerimaan yang tulus dari orangtua juga membuat anak tidak terlalu takut saat menemui fakta bahwa dirinya gagal atau melakukan suatu kesalahan, sehingga pengakuan jujur bukanlah hal yang sulit dilakukan. Menunjukkan penerimaan terhadap anak tidak berarti bahwa orangtua setuju terhadap segala perilaku anak. Saat anak melakukan kesalahan, orangtua boleh-boleh saja menegur bahkan menghukum. Anak yang terbiasa diperlakukan dengan kasih sayang pasti bisa mengetahui bahwa amarah, teguran, atau hukuman dari orangtua itu tidak cukup menjadi bukti bahwa orangtua tidak lagi menyayangi dirinya.

Memberikan penghargaan atas kejujuran anak
Anak akan merasa senang jika orangtua memperhatikan usahanya untuk berlaku jujur. Tunjukkan penghargaan saat anak mengembalikan uang sisa beli gula, saat anak memanggil orang yang uangnya terjatuh di jalan, saat anak berusaha mengerjakan prakarya sendiri meski mengetahui teman-temannya dibantu oleh orangtua mereka, juga ketika anak tidak menyontek hingga nilai ulangannya jelek. Seringkali orangtua mengabaikan kejujuran anaknya yang memilih mendapat nilai jelek daripada menyontek. Begitu melihat nilai anak yang jelek, orangtua langsung marah. Ketika anak mengakui kesalahannya dengan jujur, sebelum marah atau menghukum anak, tunjukkan dulu bahwa Anda menghargai kejujurannya, misalnya dengan berkata, “Mama sedih dan kecewa kamu memecahkan boneka keramik kesayangan mama, tapi mama senang kamu berani mengakui kesalahanmu. Mama bangga punya anak jujur seperti kamu.”

Tidak memberikan aturan berlebihan
Saat orangtua terlalu membatasi anak, sebagian anak memilih untuk menipu orangtuanya demi mencuri kebebasan. Oleh karena itu, sebaiknya orangtua hanya membuat larangan untuk hal-hal yang penting saja.

Menghindari kebiasaan menyalahkan, dan memberi hukuman berlebihan
Apabila orangtua terbiasa mengkritik, menyalahkan, atau memberi hukuman berlebihan, anak akan menjadi terlalu takut saat melakukan suatu kesalahan. Akibatnya, ia akan berusaha menutup-nutupi kesalahannya agar terhindar dari hukuman atau olok-olok orangtua. Ketika anak melakukan kesalahan, lebih baik orangtua mengajak anak bangkit dari kesalahan dan mencari solusi atas masalah yang dibuatnya. Menyadarkan anak akan kesalahannya memang perlu, namun tidak perlu dilakukan dengan cara terus-menerus menyalahkan anak. Saat anak bersalah, jelaskan tindakannya yang mana yang salah, mengapa tindakan itu salah, dan apa yang orang lain inginkan. Dalam mengarahkan perilaku anak, sebaiknya orangtua lebih banyak menggunakan metode pujian daripada hukuman, artinya orangtua berfokus pada usaha untuk memuji, memberikan perhatian saat anak menunjukkan perilaku yang baik, daripada berfokus untuk menegur saat anak berperilaku buruk.

Di atas semuanya, orangtua perlu menunjukkan kepercayaan kepada anak. Dipercaya orangtua merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang anak, dan karenanya, ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjaga kepercayaan tersebut.


Sumber inspirasi :

Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.



Baca lebih lanjut...

SALAH PILIH TEMAN


Berteman merupakan salah satu kebutuhan penting pada masa remaja. Keberhasilan menjalin relasi dengan teman sebaya jelas memberikan banyak manfaat bagi perkembangan kepribadian seorang remaja. Akan tetapi, tentu saja orangtua menjadi cemas ketika anaknya dekat dengan teman yang perilakunya tidak baik atau kurang sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang orangtua. Orangtua khawatir anaknya akan meniru tingkah laku yang tidak baik dari teman. Di bawah ini akan dibahas bagaimana orangtua dapat melakukan upaya-upaya untuk menghindarkan hal buruk yang dikhawatirkan tersebut.

Sesungguhnya, karakter telah terbentuk pada usia 12 tahun. Di atas usia itu, karakter sukar untuk berubah secara drastis. Ini berarti, jika sebelum usia itu anak telah mendapat pendidikan moral yang baik, anak cenderung akan mempertahankan nilai-nilai moral yang baik pada masa selanjutnya, atau dengan kata lain, dampak pertemanan yang buruk menjadi kecil kemungkinannya untuk mengubah karakter moralnya. Akan tetapi, bergaul dengan teman yang buruk tentu saja bisa membawa anak pada serentetan masalah. Oleh karenanya, mengambil tindakan segera demi mencegah masalah lebih lanjut adalah sebuah keputusan yang bijaksana ketimbang membiarkan hal tersebut dengan harapan anak akan tumbuh dewasa dengan sendirinya.


Faktor Penyebab

Ketika remaja, sesungguhnya anak sudah mampu menilai baik atau buruk sosok temannya. Akan tetapi, kadang anak memilih untuk tetap bergaul akrab dengan teman yang perilakunya kurang baik. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor berikut :

Keinginan mencari perhatian dan kasih sayang
Perhatian dan kasih sayang yang diterima anak selama ini dirasa kurang cukup, sementara itu, teman atau geng tempat anak bergabung mampu membuat anak merasa diterima, diperhatikan, dan disayangi. Ini menyebabkan anak enggan untuk meninggalkan teman atau gengnya tersebut.

Keinginan untuk mencari kesenangan dan tantangan
Anak mendapat kesenangan tersendiri saat ia melakukan aktivitas yang ‘mengundang masalah’ bersama teman-temannya karena aktivitas itu menantang dan meningkatkan adrenalinnya.

Keinginan untuk memberontak dan menyatakan kemandirian terhadap orangtua
Pada masa remaja, anak menjadi semakin ingin mandiri. Oleh karena itu, tidak jarang anak melakukan hal-hal yang terkesan memberontak terhadap orangtua, semata-mata karena ia ingin menegakkan otonomi dan kemandiriannya.

Keinginan mencari status atau prestise
Bergabung dengan geng membuat anak merasa lebih populer. Anak berpandangan bahwa dengan menjadi anggota geng, ia akan dianggap keren.

Rasa kurang percaya diri pada anak
Anak pada dasarnya memiliki harga diri yang rendah, sehingga ia akan merasa minder jika bergabung dengan teman-teman yang pandai, yang baik, yang mampu bersikap dewasa. Akibatnya, anak lebih memilih dekat dengan teman-teman yang ‘kurang,’ supaya ia merasa lebih nyaman dalam berinteraksi dan juga supaya ia bisa merasa ‘lebih’ dibandingkan teman-temannnya yang ‘kurang’ tersebut.

Kesamaan minat
Teman kebetulan mempunyai hobi atau minat yang sama dengan anak, sehingga dengan berteman dengannya, anak bisa melakukan aktivitas hobinya bersama-sama.


Langkah untuk Mengatasi

Berdiskusi dengan anak
Saat anak telah menginjak usia remaja, hindari untuk mengkritik secara tajam atau memberikan larangan secara otoriter, sebab jika demikian, anak justru akan merasa tertantang untuk tetap bersikukuh memegang pendiriannya. Orangtua lebih baik mengajak anak berdiskusi. Tujuan orangtua dalam diskusi ini adalah untuk membuat anak memikirkan kembali perihal persahabatannya dengan temannya. Orangtua bisa berkata demikian, “Kelihatannya, kamu sering mendapat masalah saat bersama-sama dengan Gery,” atau “Kelihatannya saat kamu bersama Gery, kamu terpaksa menuruti kemauannya,” atau “Saat kamu bersama Gery, sepertinya kamu tidak bisa jadi dirimu sendiri, kamu tidak bisa melakukan apa yang benar-benar kamu inginkan,” atau “Menurut mama, Gery itu hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi tidak mempedulikan keinginanmu.”
Apabila diskusi seperti di atas tidak berhasil juga menyadarkan anak, orangtua bisa lebih berterus-terang menyadarkan anak akan adanya masalah yang disebabkan karena pertemanannya itu kemudian mengajak anak mencari solusinya. Orangtua bisa berkata, “Tiap kali kamu bersama Gery, kamu selalu mendapat masalah. Ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Bagaimana menurutmu sebaiknya?” Tujuan terpenting adalah membuat anak menyadari bahwa dirinya harus segera menjauhi temannya. Jika anak sudah sadar namun ia bingung bagaimana cara memutuskan persahabatannya, orangtua bisa menawarkan solusi, misalnya agar anak hanya bertemu dan mengobrol dengan temannya pada saat-saat tertentu saja, misalnya jam istirahat sekolah, di luar itu, anak bisa memberikan alasan-alasan untuk menghindari pertemuannya dengan temannya.

Mengusahakan pemenuhan kebutuhan anak
Selidiki apa yang membuat anak suka berada dekat temannya tersebut. Kebutuhan apa yang selama ini dirasa anak kurang terpenuhi sehingga ia mencarinya pada sosok teman tersebut. Setelah itu, usahakan untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut. Mungkin anak mencari teman untuk curhat, mencari petualangan atau tantangan, mencari kesenangan, mencari prestise. Orangtua mungkin bisa secara langsung memberikan apa yang dibutuhkan anak, misalnya memberikan perhatian dan kasih sayang, tetapi bisa juga mengarahkan anak pada kegiatan lain yang bisa memenuhi kebutuhannya, misalnya jika anak menyukai tantangan, mengikutsertakan anak pada kegiatan outbound, menyelam, hiking, dan sebagainya.

Membantu anak mengisi waktu luangnya
Sarankan agar anak mengikuti kursus atau melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan minatnya, misalnya bermain gitar, kursus menyetir, bergabung dalam kelompok band, klub bulutangkis, dan lain sebagainya. Kegiatan seperti ini baik untuk memupuk rasa percaya diri anak serta memperluas pergaulan anak, sehingga menghindarkan anak dari ketergantungan pada temannya. Anak perlu mengetahui bahwa banyak hal menyenangkan lainnya yang bisa dilakukan daripada hanya terus-menerus menghabiskan waktu dengan temannya.

Mendekati anak
Pengaruh buruk teman bisa diantisipasi apabila orangtua membangun relasi baik dengan anak. Hal ini disebabkan karena semakin anak mencintai orangtuanya, semakin ia akan berusaha untuk menyenangkan orangtuanya. Luangkan waktu lebih banyak untuk melakukan aktivitas bersama anak. Ajak anak berkomunikasi. Orangtua bisa memulai komunikasi dengan menceritakan kejadian sehari-hari yang dialami, atau membahas hal-hal yang menarik bagi anak. Makan bersama atau acara refreshing keluarga di akhir pekan merupakan momen bagus yang memberikan kesempatan bagi orangtua dan anak untuk saling berkomunikasi sekaligus menghindarkan anak dari terlalu banyak menghabiskan waktu dengan temannya.
Ketika anak telah mau terbuka bercerita, yang perlu dilakukan orangtua adalah mendengarkannya dengan sungguh-sungguh tanpa menghakiminya. Orangtua juga perlu menunjukkan kepercayaan kepada anak, karena ketika anak merasa dipercaya, anak akan berusaha untuk menjaga kepercayaan tersebut.

Meminta bantuan orang lain
Pada masa remaja, anak seringkali lebih mau mendengar kata-kata orang lain yang bukan orangtuanya. Oleh karena itu, ada baiknya jika orangtua meminta tolong pada seseorang yang dipercaya, dihormati oleh anak, serta akrab dengan anak. Mintalah pada orang itu untuk membimbing anak agar tidak meniru perilaku buruk temannya.

Memberikan batasan yang tegas terhadap perilaku anak
Orangtua harus tetap bersikap tegas menolak perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai. Ketika anak melakukan kekerasan, melanggar norma-norma atau hukum, orangtua harus memberikan konsekuensi tegas kepada anak.

Menjauhkan anak dari teman
Apabila semua cara sudah ditempuh namun tidak membuahkan hasil, orangtua mungkin harus memisahkan anak secara fisik dari temannya, dengan cara berpindah tempat tinggal atau memindahkan anak dari sekolahnya saat ini.


Sumber inspirasi :

Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.


Baca lebih lanjut...

Sabtu, 20 Februari 2010

SUKA BOHONG


Berbohong pasti pernah dilakukan oleh semua anak manapun. Memang wajar bahwa sekali waktu anak berbohong kepada orangtua. Akan tetapi, bila berbohong menjadi kebiasaan anak, orangtua tentu merasa jengkel, bahkan orangtua bisa jadi merasa diremehkan oleh anak. Dalam mengatasi perilaku anak yang suka bohong, orangtua perlu memahami penyebab yang mendasari mengapa anak memilih untuk berkata bohong. Di bawah ini akan diuraikan hal-hal yang melatarbelakangi perilaku berbohong beserta langkah yang bisa ditempuh orangtua untuk menghentikan kebiasaan berbohong anak.

Faktor Penyebab


Penyebab yang berasal dari diri anak
Anak berbohong karena ingin :

Ingin dipuji, dikagumi. Keinginan anak untuk dikagumi, dipuji, membuat anak suka membuat cerita yang melebih-lebihkan tentang dirinya, atau menyombongkan hal yang sebenarnya tidak dipunyainya.
Ingin menghindari hukuman atau sesuatu yang tidak menyenangkan
Ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya
Ingin melindungi teman
Ingin mengakali/mencurangi orang lain


Penyebab yang berasal dari lingkungan
Tuntutan yang terlalu tinggi
Anak selalu menginginkan perhatian, pujian, dan penerimaan dari orangtua. Sebagian anak yang merasa tidak mampu memenuhi tuntutan orangtua, memilih berbohong untuk mendapatkan hal-hal itu.

Penyajian model/contoh ketidakjujuran
Anak yang terbiasa melihat orang dewasa berbohong, akan cenderung meniru dan menjadi suka berbohong pula. Anak akan berpikir bahwa berbohong boleh dijadikan cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau menghindar dari sesuatu hal yang tidak menyenangkan.

Label “pembohong” yang diberikan kepada anak
Sikap orang-orang sekitar yang tidak percaya atau mengecap anak sebagai pembohong, membuat anak frustrasi. Akibatnya, anak berpikir bahwa lebih baik berbohong sekalian saja daripada susah-susah berusaha mengatakan kebenaran namun tetap tak dipercaya.


Langkah untuk Mengatasi
Lebih banyak menunjukkan penerimaan terhadap anak
Tuntutan terhadap anak hendaknya disesuaikan dengan kemampuan anak, agar anak tak merasa bahwa dirinya tidak sanggup menjadi seperti apa yang diharapkan orangtua. Ketika anak merasa dicintai seutuhnya dan diterima apa adanya dengan segala kelemahannya, anak merasa tidak perlu berbohong. Saat anak melakukan kesalahan, orangtua bisa menegurnya tanpa menyudutkan atau mengolok-olok anak. Hukuman atas kesalahan anak sebaiknya juga tidak terlalu berat, supaya anak tidak merasa terlalu takut menghadapi kesalahannya.
Memberikan hukuman atas kebohongan anak dan memberikan penghargaan atas kejujurannya
Apabila anak melakukan suatu perbuatan yang buruk, kemudian berbohong, berarti anak layak mendapat dua hukuman, satu hukuman untuk perbuatan buruknya, dan satu hukuman khusus untuk kebohongannya. Sebaliknya, apabila anak jujur mengakui kesalahannya, orangtua hendaknya memberikan penghargaan terhadap kejujurannya itu dengan memperingan hukuman yang semestinya diterima anak akibat telah melakukan perbuatan yang salah. Katakan kepada anak, bahwa jika ia mau jujur, Anda akan sedapat mungkin berusaha mengatasi masalah yang timbul akibat kesalahannya.
Berusaha mencari fakta secara lengkap
Apabila orangtua mulai curiga bahwa anak menyembunyikan masalah, orangtua bisa berusaha mengumpulkan bukti-bukti dari sumber lain selain anak. Kemudian, sesudah orangtua yakin mengetahui faktanya, orangtua langsung membicarakan masalah tersebut dengan anak. Pembicaraan ini hendaknya difokuskan untuk mencari jalan pemecahan masalah, bukannya untuk menyalah-nyalahkan anak. Sebagai contoh, ketika orangtua telah yakin mengetahui bahwa sang anak baru saja memukul temannya, orangtua bisa berkata kepada anak, “Mamanya Andi bilang pada mama bahwa kamu memukul Andi dan Andi menangis karenanya. Mama tahu kamu merasa bersalah. Sekarang, bagaimana sebaiknya supaya besok Andi mau bermain lagi bersama kamu? Kalau kamu mau, mama akan temani kamu minta maaf padanya. Mungkin kamu juga bisa memberikan sesuatu buat menghibur Andi.” Umumnya, anak akan berbohong jika orangtua menginterogasi atau memancing anak dengan pertanyaan supaya anak mengakui kesalahannya, sebab anak mengira orangtua pasti akan memarahinya. Oleh sebab itu, daripada menginterogasi anak, lebih baik langsung menghadapkan anak pada fakta yang menjadi masalah, kemudian bersama-sama mencari jalan pemecahannya.
Menyajikan model/contoh kejujuran
Orangtua bisa memberikan teladan kejujuran dengan cara menepati janji yang dibuat dengan anak, mau mengakui kesalahan, dan tidak berkata bohong kepada anak maupun orang lain.


Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.

Baca lebih lanjut...