Blog ini berisi artikel-artikel seputar pengasuhan anak yang dipersembahkan untuk para orangtua yang sangat mencintai anak-anaknya. Para orangtua bisa memperoleh informasi mengenai bagaimana mengatasi problem perilaku anak, metode-metode untuk membentuk perilaku anak, serta tips mengembangkan berbagai aspek kepribadian anak di sini.
Kamis, 25 Februari 2010
SUKA BICARA KOTOR
Bila suatu ketika anak mengucapkan kata kotor, lalu segera berhenti sesudah dilarang orangtua, ini tak jadi masalah, sebab memang wajar seorang anak ingin mencoba mempraktikkan penggunaan kosakata yang baru saja didengarnya. Akan tetapi, bagaimana jika bicara kotor menjadi kebiasaan anak? Hal ini tentu sangat menjengkelkan orangtua, apalagi jika didengar oleh orang lain, orangtua pun tercoreng mukanya. Lantas, langkah apa yang sebaiknya ditempuh orangtua bila larangan dan peringatan yang sudah berkali-kali diberikan tak juga digubris oleh sang anak? Berikut akan dibahas mengapa anak suka berbicara kotor, dan apa yang bisa dilakukan orangtua untuk mengatasinya.
Faktor Penyebab
Keinginan mendapat perhatian
Begitu anak melontarkan kata kotor, anak segera mendapat perhatian dari orangtua maupun orang dewasa lainnya, sekalipun perhatian itu berbentuk teguran atau amarah.
Ada kesenangan yang diperoleh dari mengejutkan orang lain
Ada perasaan senang yang dialami anak saat berhasil mengejutkan orang lain. Ketika anak bisa membuat orang dewasa shock, seketika ia merasa bisa mengungguli orang dewasa tersebut.
Keinginan melepaskan emosi marah dan kecewa
Anak mungkin menggunakan kata-kata kotor itu untuk mengekspresikan perasaan marah, kesal, atau kecewa pada orang lain.
Keinginan memberontak
Anak mempunyai suatu perasaan bermusuhan terhadap orang dewasa. Selama ini ia mungkin merasa terlalu ditekan, dibatasi, atau mungkin juga merasa diperlakukan dengan kasar, akibatnya ia jadi berkeinginan untuk memberontak dan agresif melawan orang dewasa.
Pandangan salah bahwa kata kotor adalah bagian dari kedewasaan
Anak berpikir bahwa kata kotor adalah kata yang wajar digunakan oleh orang-orang dewasa. Karena ingin merasa dewasa, anak pun menggunakan kata kotor.
Keinginan diterima teman sebaya
Anak yang sudah mulai menginjak usia remaja berjuang untuk mendapat penerimaan dari kelompok teman-teman sebayanya. Beberapa anak mengira bahwa dengan bicara kotor, ia akan dipandang gaul, berani, atau macho oleh teman-temannya.
Mencontoh kebiasaan orang sekitar
Jika orang-orang sekitar yang ditemui anak sehari-hari adalah orang yang tak dapat mengendalikan diri saat marah sehingga suka memaki-maki dengan kata kotor, anak tidak belajar mengembangkan pengendalian diri yang baik, akhirnya anak pun menjadi pribadi yang sulit mengendalikan diri untuk tidak berkata kotor saat marah.
Langkah untuk Mengatasi
Mengajarkan ekspresi emosi yang lebih tepat
Bila anak mengeluarkan kata-kata kotor tiap kali ia marah, ajarkan cara mengekspresikan emosi yang lebih baik, misalnya dengan berbicara asertif, yaitu menyampaikan kepada orang lain tentang ketidaksetujuan kita terhadap perilakunya yang membuat kita merasa tidak nyaman. Anak yang masih kecil biasanya kesulitan untuk merumuskan bagaimana perasaannya, padahal mengenali perasaan beserta penyebab timbulnya perasaan merupakan langkah untuk bisa mengelola emosi secara baik. Oleh karena itu, ketika melihat anak sedang diluapi perasaan marah atau frustrasi, orangtua bisa membantu membacakan perasaannya dan menjelaskan sebab timbulnya perasaan tersebut. Misalnya saja saat anak marah karena diejek teman, orangtua bisa berkata, “Alvin, kamu jengkel sekali ya, karena si Robert mengejek caramu menyanyi di depan kelas. Kamu bisa bilang padanya bahwa kamu jengkel ditertawakan terus, dan minta supaya ia tidak lagi mengungkit hal itu.”
Mengabaikan
Bila tujuan anak adalah mendapatkan perhatian orangtua, atau mendapatkan kesenangan dari membuat orang terkejut, cara mengabaikan ini saja mungkin sudah ampuh menghentikan kebiasaan anak bicara kotor. Mengabaikan dilakukan dengan pura-pura tidak mendengar anak atau tidak menunjukkan ekspresi terkejut saat mendengar kata-kata kotor anak. Jadi, saat anak mengeluarkan kata-kata kotor, orangtua tidak perlu memelototi anak, berteriak, atau memukul anak, melainkan cukup mengalihkan pandangan ke arah lain atau kembali menggeluti aktivitas/kesibukan yang sedang dikerjakan.
Berpura-pura bodoh
Cara ini memang sepintas kelihatan aneh, tapi kadang justru jadi cara yang ampuh. Saat anak mengeluarkan kata-kata kotor, orangtua bertanya dengan lagak bodoh, “Eh, kata apa yang kamu bilang tadi? Apa artinya itu? Mama nggak ngerti. Coba kasih tahu mama.” Dengan bersandiwara pura-pura tidak mengenal kata yang digunakan anak, anak justru jadi merasa bingung, sehingga di lain waktu, ia akan menjadi malas menggunakan kata-kata itu.
Menyatakan ketidaksetujuan
Nyatakan bahwa Anda tidak senang bila mendengar kata-kata itu keluar dari mulut anak. Beri tahu anak bahwa kata-kata yang buruk bisa mencerminkan bahwa orang yang mengatakannya adalah orang yang tidak sopan, atau tidak tahu aturan, sehingga jika ia menggunakannya, orang lain bisa mengira dia anak yang tidak sopan. Bisa juga mengatakan kepada anak, “Teman-temanmu mungkin pakai kata-kata itu, tapi kita tidak,” atau “Mama tidak pernah marahi kamu pakai kata-kata itu, jadi mama juga tidak mau kalau kamu pakai kata-kata itu untuk marah.”
Menggunakan metode hukuman
Begitu mendengar anak melontarkan kata kotor, hukum anak dengan time out. Katakan kepada anak bahwa karena telah mengucapkan kata yang seharusnya tidak diucapkan, ia harus meninggalkan aktivitas yang sedang dilakukannya, pergi ke suatu tempat dan menyendiri di situ selama waktu yang ditentukan (10 menit, misalnya). Biarkan selama waktu itu anak terisolasi atau tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun juga. Apabila anak tidak mau pergi secara sukarela ke tempat yang Anda tentukan, Anda bisa mengangkatnya atau menuntunnya ke sana. Hukuman fisik seperti menampar, mencuci mulut anak dengan sabun, atau memaksa anak memakan sambal, sebaiknya tidak dipilih orangtua, sebab hukuman fisik justru berpotensi meningkatkan rasa permusuhan dalam diri anak.
Menggunakan metode pemberian hadiah
Jika anak sudah lama terbiasa berbicara kotor, sukar baginya untuk langsung berhenti total menggunakan kata-kata kotor tersebut. Dalam keadaan ini, lebih baik orangtua mengadakan perjanjian dengan anak, yaitu bahwa jika dalam waktu yang ditentukan anak tidak berbicara kotor, anak mendapat poin, poin yang terkumpul kemudian ditukar dengan hadiah bila jumlahnya mencapai target. Sebagai contoh, jika dalam sehari anak tidak berbicara kotor, anak mendapat satu tanda centang yang ditulis dalam tabel, di akhir minggu, jika jumlah tanda centang yang diperoleh anak mencapai 5, anak mendapat coklat kesukaannya. Hadiah bisa juga berupa aktivitas yang disukai anak, misalnya bepergian ke tempat wisata, atau bisa juga berupa izin melakukan suatu hal yang diinginkan anak, misalnya orangtua memberikan izin untuk bergadang di akhir pekan menonton film sampai pukul 23.00 malam.
Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company. Baca lebih lanjut...
Minggu, 21 Februari 2010
Mendidik Anak Menjadi Pribadi yang Jujur
Kejujuran adalah salah satu nilai moral yang pada umumnya ingin orangtua tanamkan pada diri anak. Jujur mengacu pada arti penuh kebenaran, dapat dipercaya dalam segala hal, bertindak dengan adil, dan tulus. Kejujuran tidak hanya membawa kebaikan untuk orang lain, melainkan juga untuk diri sendiri. Dengan menjadi jujur, kita merasa damai, tenteram, dan bahagia. Dalam usaha mendidik anak supaya menjadi pribadi yang jujur, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua. Berikut ini akan dibahas apa saja yang bisa dilakukan orangtua untuk membimbing anak menjadi pribadi yang jujur.
Mengajarkan pentingnya kejujuran
Katakan berulang kali kepada anak bahwa jujur membuat kita merasa damai dan tenteram, sebaliknya, bohong membuat kita merasa khawatir dan gelisah. Ajarkan bahwa bohong membuat diri kita menjadi orang yang tidak dipercaya. Semua orang ingin diperlakukan jujur, diberi tahu sesuai fakta, oleh karena itu, jika kita membohongi orang berarti kita tidak menghargai dan mencintai orang yang kita bohongi itu.
Tidak mengajarkan tentang prinsip ‘bohong demi kebaikan’
Apabila orangtua mengatakan bahwa ada kebohongan yang ditujukan untuk kebaikan, anak akan menangkap bahwa bohong bukan sesuatu yang mutlak salah, dan ia akan berpikir bahwa bohong boleh-boleh saja dilakukan dalam situasi tertentu. Beri tahu anak bahwa tidak ada satupun orang yang lebih senang dibohongi, oleh karenanya, dalam keadaan apapun juga, bohong tetap salah. Lebih baik berkata, “Aku tidak ingin mengatakannya,” atau “Aku tidak ingin menjawab,” daripada mengatakan sebuah kebohongan.
Memberikan model/contoh kejujuran
Orangtua harus memberikan teladan bagaimana mempraktikkan kejujuran, sebab anak tidak akan menghormati pengajaran orangtua tentang kejujuran jika ia melihat bahwa orangtuanya sehari-hari bukanlah seorang pribadi yang jujur. Kadang orangtua tidak menyadari bahwa kesalahan-kesalahan sepele yang dilakukan membuat anak memandang bahwa orangtua tidak jujur. Misalnya saja ketika orangtua diam-diam menyelinap keluar rumah dan meninggalkan anak tanpa pemberitahuan, ketika orangtua tidak menepati janji untuk jalan-jalan di akhir pekan, atau ketika orangtua menyuruh anak memberitahu seorang tamu tak dikehendaki bahwa orangtua sedang pergi meski sebenarnya orangtua di rumah. Untuk menjadi model yang jujur, sebaiknya orangtua tidak berbohong kepada anak, tidak mengingkari janji dengan anak yang telah dibuat, mau mengakui kesalahan, dan juga tidak berbohong kepada orang lain.
Menunjukkan penerimaan dan kasih sayang tanpa syarat
Ketika tuntutan orangtua tidak berlebihan, dan anak merasa diterima, disayangi apa adanya, anak akan menjadi pribadi yang nyaman dengan dirinya sendiri, yang berpikir bahwa tidak perlu menjadi orang lain untuk menyenangkan orangtuanya. Penerimaan yang tulus dari orangtua juga membuat anak tidak terlalu takut saat menemui fakta bahwa dirinya gagal atau melakukan suatu kesalahan, sehingga pengakuan jujur bukanlah hal yang sulit dilakukan. Menunjukkan penerimaan terhadap anak tidak berarti bahwa orangtua setuju terhadap segala perilaku anak. Saat anak melakukan kesalahan, orangtua boleh-boleh saja menegur bahkan menghukum. Anak yang terbiasa diperlakukan dengan kasih sayang pasti bisa mengetahui bahwa amarah, teguran, atau hukuman dari orangtua itu tidak cukup menjadi bukti bahwa orangtua tidak lagi menyayangi dirinya.
Saat orangtua terlalu membatasi anak, sebagian anak memilih untuk menipu orangtuanya demi mencuri kebebasan. Oleh karena itu, sebaiknya orangtua hanya membuat larangan untuk hal-hal yang penting saja.
Menghindari kebiasaan menyalahkan, dan memberi hukuman berlebihan
Apabila orangtua terbiasa mengkritik, menyalahkan, atau memberi hukuman berlebihan, anak akan menjadi terlalu takut saat melakukan suatu kesalahan. Akibatnya, ia akan berusaha menutup-nutupi kesalahannya agar terhindar dari hukuman atau olok-olok orangtua. Ketika anak melakukan kesalahan, lebih baik orangtua mengajak anak bangkit dari kesalahan dan mencari solusi atas masalah yang dibuatnya. Menyadarkan anak akan kesalahannya memang perlu, namun tidak perlu dilakukan dengan cara terus-menerus menyalahkan anak. Saat anak bersalah, jelaskan tindakannya yang mana yang salah, mengapa tindakan itu salah, dan apa yang orang lain inginkan. Dalam mengarahkan perilaku anak, sebaiknya orangtua lebih banyak menggunakan metode pujian daripada hukuman, artinya orangtua berfokus pada usaha untuk memuji, memberikan perhatian saat anak menunjukkan perilaku yang baik, daripada berfokus untuk menegur saat anak berperilaku buruk.
Di atas semuanya, orangtua perlu menunjukkan kepercayaan kepada anak. Dipercaya orangtua merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang anak, dan karenanya, ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menjaga kepercayaan tersebut.
Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.
SALAH PILIH TEMAN
Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.
Baca lebih lanjut...
Sabtu, 20 Februari 2010
SUKA BOHONG
Berbohong pasti pernah dilakukan oleh semua anak manapun. Memang wajar bahwa sekali waktu anak berbohong kepada orangtua. Akan tetapi, bila berbohong menjadi kebiasaan anak, orangtua tentu merasa jengkel, bahkan orangtua bisa jadi merasa diremehkan oleh anak. Dalam mengatasi perilaku anak yang suka bohong, orangtua perlu memahami penyebab yang mendasari mengapa anak memilih untuk berkata bohong. Di bawah ini akan diuraikan hal-hal yang melatarbelakangi perilaku berbohong beserta langkah yang bisa ditempuh orangtua untuk menghentikan kebiasaan berbohong anak.
Faktor Penyebab
Penyebab yang berasal dari diri anak
Anak berbohong karena ingin :
Ingin menghindari hukuman atau sesuatu yang tidak menyenangkan
Ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya
Ingin melindungi teman
Ingin mengakali/mencurangi orang lain
Penyebab yang berasal dari lingkungan
Tuntutan yang terlalu tinggi
Anak selalu menginginkan perhatian, pujian, dan penerimaan dari orangtua. Sebagian anak yang merasa tidak mampu memenuhi tuntutan orangtua, memilih berbohong untuk mendapatkan hal-hal itu.
Penyajian model/contoh ketidakjujuran
Anak yang terbiasa melihat orang dewasa berbohong, akan cenderung meniru dan menjadi suka berbohong pula. Anak akan berpikir bahwa berbohong boleh dijadikan cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau menghindar dari sesuatu hal yang tidak menyenangkan.
Label “pembohong” yang diberikan kepada anak
Sikap orang-orang sekitar yang tidak percaya atau mengecap anak sebagai pembohong, membuat anak frustrasi. Akibatnya, anak berpikir bahwa lebih baik berbohong sekalian saja daripada susah-susah berusaha mengatakan kebenaran namun tetap tak dipercaya.
Langkah untuk Mengatasi
Lebih banyak menunjukkan penerimaan terhadap anak
Tuntutan terhadap anak hendaknya disesuaikan dengan kemampuan anak, agar anak tak merasa bahwa dirinya tidak sanggup menjadi seperti apa yang diharapkan orangtua. Ketika anak merasa dicintai seutuhnya dan diterima apa adanya dengan segala kelemahannya, anak merasa tidak perlu berbohong. Saat anak melakukan kesalahan, orangtua bisa menegurnya tanpa menyudutkan atau mengolok-olok anak. Hukuman atas kesalahan anak sebaiknya juga tidak terlalu berat, supaya anak tidak merasa terlalu takut menghadapi kesalahannya.Memberikan hukuman atas kebohongan anak dan memberikan penghargaan atas kejujurannya
Apabila anak melakukan suatu perbuatan yang buruk, kemudian berbohong, berarti anak layak mendapat dua hukuman, satu hukuman untuk perbuatan buruknya, dan satu hukuman khusus untuk kebohongannya. Sebaliknya, apabila anak jujur mengakui kesalahannya, orangtua hendaknya memberikan penghargaan terhadap kejujurannya itu dengan memperingan hukuman yang semestinya diterima anak akibat telah melakukan perbuatan yang salah. Katakan kepada anak, bahwa jika ia mau jujur, Anda akan sedapat mungkin berusaha mengatasi masalah yang timbul akibat kesalahannya.Berusaha mencari fakta secara lengkap
Apabila orangtua mulai curiga bahwa anak menyembunyikan masalah, orangtua bisa berusaha mengumpulkan bukti-bukti dari sumber lain selain anak. Kemudian, sesudah orangtua yakin mengetahui faktanya, orangtua langsung membicarakan masalah tersebut dengan anak. Pembicaraan ini hendaknya difokuskan untuk mencari jalan pemecahan masalah, bukannya untuk menyalah-nyalahkan anak. Sebagai contoh, ketika orangtua telah yakin mengetahui bahwa sang anak baru saja memukul temannya, orangtua bisa berkata kepada anak, “Mamanya Andi bilang pada mama bahwa kamu memukul Andi dan Andi menangis karenanya. Mama tahu kamu merasa bersalah. Sekarang, bagaimana sebaiknya supaya besok Andi mau bermain lagi bersama kamu? Kalau kamu mau, mama akan temani kamu minta maaf padanya. Mungkin kamu juga bisa memberikan sesuatu buat menghibur Andi.” Umumnya, anak akan berbohong jika orangtua menginterogasi atau memancing anak dengan pertanyaan supaya anak mengakui kesalahannya, sebab anak mengira orangtua pasti akan memarahinya. Oleh sebab itu, daripada menginterogasi anak, lebih baik langsung menghadapkan anak pada fakta yang menjadi masalah, kemudian bersama-sama mencari jalan pemecahannya.Menyajikan model/contoh kejujuran
Orangtua bisa memberikan teladan kejujuran dengan cara menepati janji yang dibuat dengan anak, mau mengakui kesalahan, dan tidak berkata bohong kepada anak maupun orang lain.